Sunday, December 12, 2010

PENERAPAN MOTIVASI PADA ORGANISASI MAHASISWA


Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Dalam kehidupan, motivasi memiliki peranan yang sangat penting.Sebab, motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia, sehingga mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.Tanpa adanya motivasi dalam diri seseorang, maka dapat dipastikan bahwa orang itu tidak akan bergerak sedikitpun dari tempatnya berada. Begitupun dalam kehidupan berorganisasi, motivasi organisasi sangat mutlak adanya.
Sehebat apapun recana yang telah dibuat oleh ketua organisasi, apabila dalam proses aplikasinya dilakukan oleh anggota yang kurang atau bahkan tidak memiliki motivasi yang kuat, maka akan menyebabkan tidak terealisasinya rencana tersebut. Tidak salah jika kemudian Flipo mendefinisikannya dengan "Direction or motivation is essence, it is a skill in aligning employee and organization interest so that behavior result achievement of employee want simultaneously with attainment or organizational objectives".

Thursday, September 02, 2010

PENGERTIAN PSIKOLOGI KLINIS

Yaitu gangguan psikologi yang menganggu keadaan fisik.
Macamnya:
gangguan berat
turunnya fungsi sosial (orang yang biasanya bisa bekerja sampai yang tidak bisa bekerja), sampai gangguan yang bersifat psikotik (gila).
Realitanya buruk (tidak realitas)
Membahayakan diri sendiri atau orang lain besar
Memerlukan bantuan orang lain
Insight buruk (tidak tahu dirinya sendiri)

Hubungan Bimbingan Konseling Dengan Keguruan

1. Bimbingan Konseling

A. Pengertian Bimbingan Konseling
Bimbingan dapat diartikan sebagai “proses membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal”. Konseling diartikan sebagai “proses membantu individu (klien) secara perorangan dalam situasi hubungan tatap muka, dalam rangka mengembangkan diri atau memecahkan masalah yang dihadapinya”.
Jadi, Bimbingan Konseling dapat diartikan sebagai Proses pemberian bantuan kepada individu maupun kelompok dalam rangka pengembangan diri atau pemecahan masalah sehingga individu maupun kelompok tersebut dapat mencapai perkembangan secara optimal.

B. Tujuan Bimbingan Konseling
Konseling merupakan salah satu jenis layanan bimbingan, yang dipandang inti dari keseluruhan layanan bimbingan. Bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu individu atau peserta didik agar dapat mengembangkan kepribadiannya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, intelektual, emosional, sosial maupun moral-spiritual.

C. Fungsi Bimbingan Konseling
Sebagai proses pemberian bantuan kepada individu (siswa), bimbingan Konseling berfungsi sebagai upaya untuk
• Pemahaman
• Pencegahan
• Pengembangan, dan
• Perbaikan.

D. Prinsip-Prinsip Bimbingan Konseling.
Bimbingan Konseling diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip yaitu :
• Individu atau peserta didik sedang berada dalam proses berkembang,
• Sasaran bimbingan adalah semua peserta didik,
• Mempedulikan semua aspek perkembangan,
• Kemampuan peserta didik merupakan dasar bagi penentuan pilihan,

• Bimbingan merupakan bagian terpadu pendidikan,
• Bantuan yang diberikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan peserta didik merealisasikan dirinya.

E. Azaz-Azaz Bimbingan Konseling
Penyelenggaraan Bimbingan Konseling yang Profesional harus mempedulikan azaz-azaz dalam Bimbingan Konseling. Dalam Proses Bimbingan Konseling Semua Azaz tersebut harus di pelihara dan di gunakan dengan Baik.
Adapun Azaz-azaz Bimbingan Konseling Yaitu:
• Kerahasiaan adalah dimana konselor atau Guru Bimbingan Konseling harus dapat menjaga Rahasia atau semua hal yang bersangkutan dengan klien setelah kegiatan konseling berakhir.
• Keterbukaan adalah dimana konselor atau Guru Bimbingan Konseling dituntut untuk menerima konseli atau siswa dengan penuh rasa membuka diri.
• Keahlian adalah konselor dituntut untuk benar-benar menguasai proses kegiatan yang sedang berlanggsung
• Kedinamisan adalah konselor dan klien dituntut agar aktif dalam kegiatan konseling sehingga kegiatan tersebut dapat dirasakan oleh klien
• Tut wuri handayani adalah konselor hanya memberi arahan kepada klien atau siswa sehingga siswa dapat menemukan jawaban atas masalah yang dihadapinya ( semua keputusan ada pada klien).

F. Bidang dan Jenis-jenis Layanan Bimbingan
Adapun Bidang-bidang dalam Penyelenggaraan bimbingan Konseling, bidang- bidang tersebut meliputi :
• Bidang pribadi
• Sosial
• Akademik
• karier.

G. Jenis-jenis layanan Bimbingan Konseling
Dalam kegiatan Bimbingan Konseling juga harus memperhatikan jenis-jenis lyanan Bimbingan konseling sehingga proses kegiatan Bimbingan Konseling dapat diberikan tepat sasaran. Adapun jenis-jenis layanan tersebut ialah :
• Layanan Orientasi
• Layanan Informasi
• Layanan Pembelajaran
• Layanan Bimbingan kelompok
• Layanan Penempatan dan penyaluran
• Layanan Konseling perorangan
• dan Layanan konseling kelompok

2. Hubungan Bimbingan dengan Pendidikan
Pendidikan akan terselenggara dengan baik, apabila ditunjang oleh komponen-komponennya yang meliputi bidang kepemimpinan atau administrasi, pengajaran, dan layanan pribadi siswa atau bimbingan. Melalui bimbingan, proses pendidikan dapat memfasilitasi berkembangnya aspek-aspek atau karakteristik pribadi siswa secara optimal.

A. TUGAS GURU
Guru memiliki tugas yang bermacam-ragam yang diimplementasikan dalam bentuk pengabdian.
Tugas-tugas tersebut meliputi beberapa bidang profesi yaitu :
• Bidang kemanusiaan
• Bidang kemasyarakatan

Tugas guru sebagai profesi meliputi :
• Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan
• Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
• Melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.

Tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua. Dimana ia harus menarik simpati dan menjadi idola para siswanya. Adapun yang diberikan atau disampaikan guru hendaklah dapat memotivasi hidupnya terutama dalam belajar. Bila seorang guru berlaku kurang menarik, maka kegagalan awal akan tertanam dalam diri siswa.
Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari "citra" guru di tengah-tengah masyarakat.

B. PERAN SEORANG GURU
a. Dalam Proses Belajar Mengajar

Sebagaimana telah di ungkapkan diatas, bahwa peran seorang guru sangar signifikan dalam proses belajar mengajar. Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai:
a. Demonstrator
b. Manajer/pengelola kelas
c. Mediator/fasilitator
d. Evaluator


b. Dalam Pengadministrasian
Dalam hubungannya dengan kegiatan pengadministrasian, seorang guru dapat berperan sebagai:
1) Pengambil insiatif, pengarah dan penilai kegiatan pendidikan
2) Wakil masyarakat
3) Ahli dalam bidang mata pelajaran
4) Penegak disiplin
5) Pelaksana administrasi pendidikan

C. Kompetensi Dan Profesionalisme Guru
a. Pengertian kompentensi dan Profesionalisme Guru
Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya. Profesional adalah suatu bidang pekerjaan yang memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Dengan kata lain sebuah profesi rnemerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimaI. Dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.
b. Syarat Profesi
Mengingat tugas guru yang demikian kompleksnya, maka profesi ini memerlukan persyaratan khusus sebagai berikut:
a) Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam
b) Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
c) Menuntut tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
d) Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya
e) Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupannya.


A. Pengertian Profesi
Berkaitan dengan “profesi” ada beberapa istilah yang hendaknya tidak dicampuradukkan, yaitu profesi, profesional, profesionalisme, profesionalitas,, dan profesionalisasi.
“Profesi” adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi, tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.
”Profesional” menunjuk kepada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi. Jika orang tersebut benar-benar ahli, maka disebut seorang “profesional”. Kedua, penampilan seorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah profesional sering dipertentangkan dengan istilah non-profesional atau amatiran.
“Profesionalisme” menunjuk kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
“Profesionalitas”, mengacu kepada sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
“Profesionalisasi” menunjuk pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota suatu profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan keprofesionalan, baik dilakukan melalui pendidikan/latihan pra-jabatan (pre-service training) maupun pendidikan/latihan dalam jabatan (in-service training). Oleh sebab itu, profesionalisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat dan tanpa henti.


B. Ciri-ciri Profesi
Suatu jabatan atau pekerjaan disebut profesi apabila ia memiliki syarat-syarat atau ciri-ciri tertentu. Sejumlah ahli seperti McCully, 1963; Tolbert, 1972; dan Nugent, 1981) telah merumuskan syarat-syarat atau ciri-ciri dari suatu profesi. Dari rumusan-rumusan yang mereka kemukakan, dapat disimpulkan syarat-syarat atau ciri-ciri utama dari suatu profesi sebagai berikut:
a. Suatu profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang memiliki fungsi dan kebermaknaan sosial yang sangat menentukan.
b. Untuk mewujudkan fungsi tersebut pada butir di atas para anggotanya (petugasnya dalam pekerjaan itu) harus menampilkan pelayanan yang khusus yang didasarkan atas teknik-teknik intelektual, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang unik.
c. Penampilan pelayanan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin saja, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d. Pada anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu didasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit; bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common sense) belaka.

Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama. Secara ideal seluruh persyaratan di atas perlu dipenuhi oleh suatu profesi. Namun, banyak diantara profesi yang ada memenuhi persyaratan tersebut secara bertahap.

C. Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Diyakini bahwa pelayanan bimbingan dan konseling adalah suatu profesi yang dapat memenuhi ciri-ciri dan persyaratan tersebut. Namun, berhubung dengan perkembangannya yang masih tergolong baru, terutama di Indonesia, dewasa ini pelayanan bimbingan dan konseling belum sepenuhnya mencapai persyaratan yang diharapkan. Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan konseling masih perlu dikembangkan, bahkan diperjuangkan. Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain melalui (a) standarisasi untuk kerja profesional konselor, (b) standardisasi penyiapan konselor, (c) akreditasi, (d) stratifikasi dan lisensi, dan (e) pengembangan organisasi profesi.

1. Standardisasi Unjuk Kerja Profesional Konselor
Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan dan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu berkomunikasi dan berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling semata-mata diarahkan kepada pemberian bantuan berkenaan dengan upaya pemecahan masalah dalam arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru.

2. Standardisasi Penyiapan Konselor
Tujuan penyiapan konselor ialah agar para (calon) konselor memiliki wawasan dan menguasai serta dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya materi dan keterampilan yang terkandung di dalam butir-butir rumusan unjuk kerja. Penyiapan konselor itu dilakukan melalui program pendidikan prajabatan, program penyetaraan, ataupun pendidikan dalam jabatan (seperti penataran). Khusus tentang penyiapan konselor melalui program pendidikan dalam jabatan, waktunya cukup lama, dimulai dari seleksi dan penerimaan calon peserta didik yang akan mengikuti program sampai para lulusannya diwisuda. Program pendidikan prajabatan konselor adalah jenjang pendidikan tinggi.

a) Seleksi/Penerimaan Peserta didik
Seleksi atau pemilihan calon peserta didik merupakan tahap awal dalam proses penyiapan konselor. Kegiatan ini memegang peranan yang amat penting dan menentukan dalam upaya pemerolehan calon konselor yang diharapkan. Bukanlah bibit yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula.

b) Pendidikan Konselor
Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas dalam bidang bimbingan dan konseling, yaitu unjuk kerja konselor secara baik (calon) konselor dituntut memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap tersebut diperoleh melalui pendidikan khusus. Untuk pelayanan profesional bimbingan dan konseling yang didasarkan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, maka pengetahuan, sikap dan keterampilan konselor yang (akan) ditugaskan pada sekolah tertentu itu perlu disesuaikan dengan berbagai tuntutan dan kondisi sasaran layanan, termasuk umur, tingkat pendidikan, dan tahap perkembangan anak.

Peran Guru Dalam Administrasi Sekolah
Secara normatif, dalam UU No. 14 Tahun 2005 Bab I Ketentuan Umum, Pasal I ayat 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Namun jika kita perhatikan secara kontekstual isi pasal tersebut, maka tugas guru selain telah terinci di atas, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan administrasi. Yaitu sebuah kegiatan yang menjalankan tugas-tugas administrasi sistem sekolah yang menyangkut segala rangkaian program kegiatan, baik kegiatan yang terencana maupun kegiatan insidental guna mencapai visi, misi dan tujuan sekolah yang diinginkan.

A. Guru sebagai Perancang
Menjadi seorang administrator, berarti tugas guru ialah merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengawasi dan mengevaluasi program kegiatan dalam jangka pendek, menengah atau pun jangka panjang yang menjadi prioritas

B. Tujuan Sekolah.
Untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan utama sekolah, maka tugas perancang yaitu; menyusun kegiatan akademik (kurikulum dan pembelajaran), menyusun kegiatan kesiswaan, menyusun kebutuhan sarana-prasarana dan mengestimasi sumber-sumber pembiayaan operasional sekolah, serta menjalin hubungan dengan orangtua, masyarakat, stakeholders dan instansi terkait.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru, yaitu:
(1) Mengerti dan memahami visi-misi dan tujuan lembaga sekolah atau madrasah. Guru dapat menjabarkannya ke dalam sebuah isi (content) kurikulum dan pembelajaran (learning), kegiatan kesiswaan, penciptaan kultur/budaya sekolah, serta membangun penguatan kelembagaan yang sehat dan berkualitas.
(2) Mampu mengalisis data-data yang terkait masalah perubahan kurikulum, perkembangan peserta didik, kebutuhan sumber belajar dan pembelajaran, strategi pembelajaran, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta informasi. (3) Mampu menyusun perioritas program sekolah secara terukur dan sistematis, seperti proses rekuitmen siswa, masa orientasi siswa, proses pembelajaran, hingga proses evaluasi.

C. Guru Sebagai Penggerak
Guru juga dikatakan sebagai penggerak, yaitu mobilisator yang mendorong dan menggerakkan sistem organisasi sekolah. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, seorang guru harus memiliki kemampuan intelektual dan kepribadian yang kuat. Kemampuan intelektual, misalnya; punya jiwa visioner, jiwa kreator, jiwa peneliti, jiwa rasional/cerdik dan jiwa untuk maju. Sedangkan kepribadian seperti; wibawa, luwes, adil dan bijaksana, arif dan jujur, sikap objektif dalam mengambil keputusan, toleransi dan tanggung jawab, komitmen, disiplin, dan lain-lain.
Untuk mendorong dan menggerakkan sistem sekolah yang maju memang membutuhkan kemampuan brilian tersebut guna mengefektifkan kinerja sumber daya manusia secara maksimal dan berkelanjutan. Sebab jika pola ini dapat terbangun secara kolektif dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh para guru, maka akan muncul perubahan besar dalam sistem manajemen sekolah yang efektif. Melalui cita-cita dan visi besar inilah guru sebagai agen penggerak diharapkan mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa memiliki serta rasa memajukan lembaga sekolahnya sebagai tenda besar dalam mendedikasikan hidup mereka.


D. Guru sebagai Evaluator
Selain itu, guru juga dikatakan sebagai evaluator, yaitu melakukan evaluasi/penilaian terhadap aktivitas yang telah dikerjakan dalam sistem sekolah. Peran ini penting, karena guru sebagai pelaku utamanya dalam menentukan pilihan-pilihan serta kebijakan yang relevan demi kebaikan sistem yang ada di sekolah, baik itu menyangkut kurikulum, pengajaran, sarana-prasarana, regulasi, sasaran dan tujuan, hingga masukan dari masyarakat luas.

Seorang guru harus terus menerus melakukan evaluasi baik ke dalam maupun ke luar sekolah, guna meningkatkan mutu pendidikan yang lebih baik. Evaluasi ke dalam (internal) ditujukan untuk melihat kembali tingkat keberhasilan dan kelemahan yang dihadapi sekolah, misalnya (1) visi, misi, tujuan dan sasaran, (2) kurikulum, (3) pendidik dan tenaga kependidikan, (4) dana, sarana prasarana, regulasi, organisasi, budaya kerja dan atau belajar. Sementara evaluasi ke luar (eksternal) ditujukan untuk melihat peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah, misalnya (1) menjaga kepercayaan masyarakat, (2) memenuhi harapan para orang tua siswa, (3) memenuhi kebutuhan stakeholders, (4) redesain era persaingan (competitive), (5) memerhatikan dampak IPTEK dan informasi, dan (6) pengaruh dari lingkungan sosial.
Dari penjelasan di atas, menurut hemat penulis, merupakan implikasi dari desentralisasi atau otonomi sekolah yang dalam hal ini juga bagi guru yang diberi keluasan dan keluwesan dalam mengelola pendidikan. Menurut Hasbullah, peran strategis guru tersebut berimplikasi pada administrasi, kelembagaan dan perencanaan yang lebih terbuka dan. Guru sebagai pelaku utama menjadi agen perubahan yang dapat meningkatkan peran administratif tersebut.

E. Guru sebagai Motivator
Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan penentu keberhasilan. Seorang guru seyogyanya memerankan diri sebagai motivator murid-muridnya, teman sejawatnya, serta lingkungannya. Kata motivasi berasal dari kata motif, yang artinya daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan.
Konsep motif yaitu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc. Donald, seperti yang dikutip M. Sobry Sutikno (2009), motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang di kemukakan Mc. Donald itu mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Dalam beberapa sumber dijelaskan bahwa motivasi ada dua, yaitu (1) Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri. (2) Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada di sekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Dari landasan konseptual di atas, ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
1) Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik. Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai tujuan yang akan dicapainya kepada siswa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2) Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3) Saingan/kompetisi. Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4) Pujian. Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5) Hukuman. Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.
6) Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
7) Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8) Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9) Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10) Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari dalam dan luar siswa. Faktor luar misalnya, fasilitas belajar, cara mengajar guru, serta sistem pemberian umpan balik, dan sebagainya. Serta faktor dari dalam siswa mencakup kecerdasan, strategi belajar, motivasi, dan sebagianya.

Dari beberapa penelitian dihasilkan bahwa prestasi belajar sangat besar dipengaruhi oleh motivasi, baik siswa maupun gurunya. Bahkan dikembangkan model kondisi motivasional untuk menghasilkan pembelajaran yang menarik, bermakna, dan memberikan tantangan siswa. Model kondisi motivasional itu adalah perhatian (attention), relevansi (revance), kepercayaan diri (confidence), dan kepuasan (satisfaction).
1. Perhatian. Seorang guru harus menanamkan kepada siswanya rasa perhatian atau rasa ingin tahu. Melalui rasa ingin tahu itulah melahirkan rangsangan motivasi belajar yang meledak-ledak dan penuh semangat. Untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, seorang guru sebaiknya memancing peserta didiknya dengan hal-hal baru, urgensitas, serta hal aneh yang mengundang penasaran mereka. Cara ini juga disertai dengan strategi penyampaian yang menarik dan menyenangkan, memerlukan alat/sumber belajar dan media yang efektif, serta dengan komunikasi yang elegan, humoris, dan mantap.
2. Relevan. Seorang guru harus mampu menghubungkan materi dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik. Guru dapat membangkitkan motivasi mereka dengan menganggap bahwa apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi, atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang. Kebutuhan pribadi (basic needs) dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni motif pribadi, motif instrumental dan motif kultural.

Pertama, nilai motif pribadi (personal motive value) Menurut Mc Clelland, seperti yang dikutip Suciati, mencakup (a) kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement), (b) kebutuhan untuk memiliki kuasa (needs for power), (c) kebutuhan untuk berafiliasi (needs for affiliation). Kedua, nilai yang bersifat instrumnetal, yaitu keberhasilan dalam mengerjakan tugas dianggap sebagai langkah untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut. Ketiga, nilai kutural yakni tujuan yang ingin dicapai konsisten atau sesuai dengan nilai yang dipegang oleh kelompok yang diacu peserta didik, seperti orangtua, teman sebaya, dan masyarakatnya.

3. Percaya diri. Seorang guru harus mampu menunjukkan potensi dirinya dengan penuh percaya diri didepan peserta didik. Motivasi akan meningkat apabila percaya dirinya sedang positif, sebaliknya motivasi akan turun ketika kehilangan kepercayaan diri tersebut.
4. Kepuasan. Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan, dan siswa akan termotivasi untuk terus berusaha mencapai tujuan yang serupa. Untuk meningkatkan dan memelihara motivasi siswa, guru dapat menggunakan pemberian penguatan (reinforment) kesempatan berupa pujian, pemberian kesempatan, dan sebagaimana.

Dari uraian di atas, peran guru sebagai motivator diharapkan dapat mendorong peristiwa belajar yang menarik dan menyenangkan siswa. Peristiwa belajar tersebut antara lain; (1) menimbulkan minat dan memusatkan perhatian mahasiswa, (2) menyampaikan tujuan pembelajaran, (3) mengingatkan kembali konsep/prinsip yang telah dipelajari yang merupakan pra syarat, (4) memberikan bimbingan belajar, (5) memberikan umpan balik atas pelaksanaan tugas siswa, dan (6) mengukur/mengevaluasi hasil belajar siswa

BERITA ACARA PENGHITUNGAN SUARA

BERITA ACARA PENGHITUNGAN SUARA
PEMILIHAN KETUA/SEKUM HIMA BKS 2010-2011

Sehubungan dengan telah diadakan kegiatan pemilihan Ketua/Sekum HIMA BKS (Himpunan Mahasiswa Bimbingan Konseliing) periode 2010-2011, yang bertandatangan di bawah ini menerangkan, Sebagai berikut :

1. Telah diadakan pemilihan/pemungutan suara pada :
Hari/tanggal : Rabu s/d Jumat / 18 s/d 20 Agustus 2010
Pukul : 09.30 s/d 12.30 Wib
Tempat : RKU 3 lt. I.
Kegiatan pemilihan dihadiri oleh masing-masing saksi dari kedua kandidat atau calon Ketua/Sekum HIMA BKS 2010-2011.
2. Jumlah kandidat atau calon Ketua/Sekum HIMA BKS periode 2010-2011 adalah 2 (Dua) Pasangan Kandidat/Calon yang tersebut dibawah ini :
Nomor Urut Nama Jabatan
1 M. Ramzi Calon Ketua HIMA BKS 2010-2011
Citra Novariyanti F Calon Sekum HIMA BKS 2010-2011

2 Ruslan Jamil Calon Ketua HIMA BKS 2010-2011
Azan Nur Calon Sekum HIMA BKS 2010-2011

3. Jumlah Surat Suara yang di cetak untuk pemilihan Ketua HIMA BKS 2010-2011 sebanyak 250 (Dua Ratus Lima Puluh) lembar Surat Suara.
4. Jumlah surat suara yang terpakai sebanyak 174 (Seratus Tujuh Puluh Empat) Lembar dan Tidak terpakai sebanyak 76 (Tujuh Puluh Enam) Lembar Surat suara.
5. Jumlah pemilih sebanyak 174 (Seratus Tujuh Puluh Empat) pemilih.





Setelah diadakan penghitungan Surat suara pada :
Hari/tanggal : Jumat / 20 Agustus 2010
Pukul : 14.00 Wib s/d 15.30 WIB
Tempat : RKU 3 lt. I.

Maka dengan ini kami dari panitia Pemilihan menyatakan hasil dari penghitungan surat suara sebagai berikut :
1. Jumlah Surat suara yang dinyatakan Sah adalah sebanyak 163 Lembar suara.
2. Jumlah surat suara yang dinyatakan Tidak Sah (Rusak) adalah sebanyak 11 Lembar suara.
3. Jumlah Suara yang diperoleh kandidat atau calon Nomor Urut 1 sebanya 100 suara.
4. Jumlah Suara yang diperoleh kandidat atau calon Nomor Urut 2 sebanyak 63 suara.
5. Jumlah suara terbanyak di peroleh Kandidat atau Calon Nomor Urut 1 Sebanyak 100. Suara dan dinyatakan Sah sebagai Ketua/Sekum HIMA BKS terpilih 2010-2011.

Demikianlah Berita Acara Pemilihan Ketua/sekum HIMA BKS 2010-2011 ini kami buat dan disaksikan oleh Panitia, warga BKS, dan Saksi dari kedua Kandidat/Calon HIMA BKS 2010-2011.

Tuesday, July 27, 2010

Gangguan somatoform

Gangguan somatoform dan disosiatif, berkaitan dengan gangguan kecemasan. Pada gangguan somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul secara bersamaan.
Gangguan somatoform meliputi beberapa gangguan kesehatan mental dimana orang melaporkan gejala-gejala fisik atau keprihatinan yang diduga tetapi tidak dijelaskan oleh gangguan fisik atau melaporkan merasa cacat pada penampilan. Gejala-gejala atau keprihatinan ini menyebabkan gangguan yang berarti atau berhubungan dengan fungsi sehari-hari.
Gangguan somatoform secara relatif adalah istilah baru untuk apa yang orang banyak gunakan untuk merujuk sebagai gangguan psikosomatik. Pada gangguan somatoform, gejala-gejala fisik tidak dapat dijelaskan oleh penyakit fisik mendasar apapun. Pada beberapa kasus gangguan somatoform, sebuah penyakit fisik yang hadir yang bisa menjelaskan peristiwa tersebut tetapi bukan keras atau lamanya gejala-gejala fisik tersebut. orang dengan gangguan somatoform tidak benar-benar tampak sakit, mereka sesungguhnya meyakini bahwa mereka mengalami masalah fisik serius.
1.Pengertian somatoform
Gangguan somatoform adalah kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis. Berbagai simtom dan keluhan somatic tersebut cukup serius, sehingga menyebabkan sters emosisional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan social dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa factor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami (Kaplan, sadock, & Grebb, 1994).
2. Jenis-jenis gangguan somatoform
a.Gangguan nyeri (pain disorder)
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan; faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit dan nyeri pada satu tempatatau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis (non psikiatris) maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stress emosional ataupun gangguan fungsional, dan gangguan ini di anggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi (Kaplan , sadock, dan Grebb, 1994)
Prevalensi gangguan nyeri pada perempuans 2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan puncak onsetnya terjadi sekitar usia 40-50 tahun mungkin karena pada usia tersebut toleransi terhadap rasa sakit sudah berkurang.
Terapi untuk Pain Disorder:
Berdasarkan mutakhir, biasanya tidak ada gunanya membuat perbedaan yang tajam antara rasa nyeri psikogenik dan rasa nyeri yang benar-benar di sebabkan oleh factor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan bahwa rasa nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut. penanganan yang efektif cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
•Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita.
•Relaxation training
•Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri.
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
Etiologi dari gangguan ini dapat di bahas dari beberapa sudut pandang:
•Pandangan psikodinamika
Mengemukakan bahwa rasa sakit yang dialami penderita mungkin secara simbolis mengekspresikan konflik intrapsikis pada keluhan tubuh.
b.Gangguan dismorfik
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
Penyebab gangguan ini hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun dirpekirakan mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau social, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model psikodinamik, gangguan ini merefleksikan pemindahan konflik seksual atau emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi.
c.Gangguan hipokondriasis
Kata hypochondrias berasal dari istilah medis lama hypochondrium, yang berarti di bawah tulang rusuk,, dan merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien hipokondrias.
Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
Etiologi gangguan adalah bahwa pasien cenderung berfokus pada sensasi ketubuhan, salah menginterprestasikannya, dan menjadi waspada karena adanya skema kognitif yang salah. Teori lain menyebutkan bahwa simtom hipokondrias hanyalah varian dari gangguan mental. Sedangkan yang ke empat bahwa dorongan agresi atau kekejaman terhadap orang lain di transfer (melalui represi dan displasment) ke dalam keluhan fisik.
Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
d.Gangguan konversi
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik. Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Teori Psikoanalisis dari Conversion Disorder
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut. Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.
Teori Behavioral dari Conversion Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ? Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.
Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya.
Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).
Faktor Biologis pada Conversion Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
TERAPI
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
e.Gangguan somatisasi
Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pasda awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Etiologi dari Somatization Disorder
Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima.
Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
B.GANGGUAN DISOSIASI
1.Pengertian disosiasi
Seorang individu dapat dikatakan sehat secara mental, salah satunya apabila dia merasa dirinya utuh dengan dasar satu kepribadian. Keutuhan diri terdiri dari integrasi atau gabungan dari pikiran, perasaan, dan tindakan individu yang secara bersamaan membentuk suatu kepribaaadian yang unik. Individu harus mampu pula menyelaraskan pikiran, perasaan, dan tindakanya. Apabila integrasi atau keutuhan tersebut terganggu, salah satu akibatnya adalah munculnya gangguan disosiatif.
Gangguan disosiatif adalah gangguan yang di tandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan uuntuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinyabahkan membentuk identitas baru. (Davidson & Neale, 2001).
2.Jenis-jenis gangguan disosiasi
a.Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres. Informasi-informasi itu tidak hilang secara permanen namun tidak dapat diingat kembali saat episode amnesia. Lubang-lubang dalam memori terlalu lebar untuk dapat dijelaskan sebagai kelupaan biasa.
Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya
Individu yang mengalami amnesia disosaiif dapat secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kemabli informasi tenatng dirinya sendiri ataupun berbagai informasi yang sebellumnya telah ada dalam memori mereka. Iasanya hal ini terjadi sesudah peristiwa yang menekan (stressful event) seperti misalnya menyaksikan kematian seseoarang yang dicintai. Inforamsi yang hilang atau tidak mampu diingatt oleh individu biasanya menyangkut peristiwa yang traumatic dan menekan yang terjadi dalam kehidupan individu.
b.Fugue Disosiatif
Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru. Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru. Individu dengan gangguan ini secara tiba-tiba dapat memiliki nama yang baru, rumah serta pekerjaan yang baru, bahkan mampu membentuk karakteristik kepribadian yang baru. Individu bahkan mampu membentuk hubungan social yang baik dengan lingkungannya yang baru, walaupun identitas yang baru pada fugue disosiatif tidaklah selengkap apabila ita melihat kepribadian lain yang ada pada individu dengan gangguan disosiatif identitas (multiple personality disorder). Dan gangguan fugue terjadi dalam jangka waktu yang lebih singkat. Fugue mencakup perjalanan yang terbatas, namun jelas tujuannya. Dimana hubungan social hanya minimal atau tidak ada sama sekali.
Fugue pada umumnya terjadi setelah seseorang mengalami stress berat, seperti pertengkaran dengan suami istri penolakan diri, asalah keuangan atau pekerjaan dalam bertugas dalam peperangan, atau bencana alam. Walaupun memerlukan waktu yang lamanya bervariasi, namun biasanya individu dapat pulih secara total, individu yang bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama ia mengalami amnesia.
pada dasarnya penyebab dari gangguan ini adalah masalah psikologis. Factor yang mendorong munculnya gangguan ini adalah keinginan yang sangat kuat untuk lari atau melepaskan diri dari pengalaman yang secara emosionalmenaitkan individu.
c.Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.
Episode gangguan depersonalisasi adalah ego-distonik. Dimana individu dengan gangguan ini mampu menyadari bahwa apa yang dirasakannya tersebut tidaklah nyata (tidak sesungguhnya terjadi), namun mereka tidak mampu untuk menghilangkan perasaan tersebut (merasa bahwa hidungnya membesar). Oleh Karena itu, mereka merasa terganggu karenanya.
Gangguan depersonalisasi dapat disebabkan oleh masalah psikologis (stress yang berat), neurologis (depersonaisasi biasanya merupakan gejala awal adanya masalah neurologis seperti misalnya tumor otak atau epilepsy) dan penyakit sistemik (gangguan tiroid atau pancreas).
d.Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.
Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a.Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas
b.Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang
c.Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.
ETIOLOGI
Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.
Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (Gleaves, 1996).
Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.
TERAPI
Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres. Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut. Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989)
Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian. Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri. Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom.
Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil. Terapis harus mendorong empati dan kerjasama diantara berbagai kepribadian. Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.
Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.

Wednesday, June 02, 2010

Kesehatan Mental Dalam Keluarga Serta beberapa Aspeknya


Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, dimana kondisi keluarga sangat menentukan dalam kesehatan mental seseorang. Suatu gangguan stabilitas dalam keluarga akan menimbulkan guncangan yang sangat berat bagi individu yang mengalaminya.

Dari suatu perkawinan dapat timbul generasi baru dengan berbagai permasalahannya. Baik yang sifatnya mengusahakan kelestarian budaya serta peradaban tersebut, maupun beban yang ditimbulkan oleh tugas pemeliharaannya dalam membina keluarga dibutuhkan persiapan yang mantap dan perencanaan yang matang, agar tidak terjadi permasalahan yang dapat menimbulkan perceraian yang akan berdampak pada kesehatan mental

Kesehatan Mental Dalam Keluarga Serta beberapa Aspeknya

1. Latar Belakang

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, dimana kondisi keluarga sangat menentukan dalam kesehatan mental seseorang. Suatu gangguan stabilitas dalam keluarga akan menimbulkan guncangan yang sangat berat bagi individu yang mengalaminya.

Dari suatu perkawinan dapat timbul generasi baru dengan berbagai permasalahannya. Baik yang sifatnya mengusahakan kelestarian budaya serta peradaban tersebut, maupun beban yang ditimbulkan oleh tugas pemeliharaannya dalam membina keluarga dibutuhkan persiapan yang mantap dan perencanaan yang matang, agar tidak terjadi permasalahan yang dapat menimbulkan perceraian yang akan berdampak pada kesehatan mental


Kesehatan Mental Dalam Keluarga
1. Aspek Psikologis atau Aspek Kejiwaan dalam Keluarga
Perkawinan tidak sekedar pensyahan hubungan seksual belaka tetapi mengharapkan kelestarian hubungan suami istri, supaya pendidikan anaknya lebih sempurna, karena anak perlu belajar dan menyerap adab dan peradaban masyarakat, orang tuanya, bahkan setelah anak menginjak dewasa orang tua pula yang membimbing anaknya memasuki kehidupan perkawinan.

2. Perkembangan Hubungan Suami Istri
Pada umumnya, individu memasuki jenjang perkawinan setelah melewati usia remaja. Perkawinan pada usia remaja terlalu mempunyai resiko yang tidak menguntungkan, sebab mereka masih sangat labil walaupun telah memiliki idealisme yang berarti, karena idealisme tidak cukup untuk mengarungi hidup, namun perlu kedewasaan serta pemikiran yang rasional dalam memecahkan berbagai persoalan hidup. Pemilihan calon suami atau istri adalah metode yang sangat menguntungkan karena itu adalah pilihan sendiri dan hubungannya secara psikologis berkembang secara lebih wajar, lebih alami dan bertanggung jawab.
Seorang wanita biasanya baru mengalami maturasi intensif dalam hal jati dirinya ketika dia dalam tahun-tahun awal perkawinannya. Dalam hal ini biasanya dia mengambil oper jati diri suaminya. Kiranya sikap ini merupakan penerusan identifikasinya yang rangkap ketika dia masih kanak-kanak. Identifikasi terhadap ibu dan ayah karena itulah adanya kecenderungan umum bahwa anak perempuan memilih pacar yang seperti ayahnya
Namun, dengan hubungan yang intim di antara suami istri, perkembangan serta kedewasaan jiwa dapat berjalan lebih lancar dan alami kritik secara verbal maupun non verbal diantara suami istri yang saling mencintai akan menghasilkan introspeksi pada masing-masing pihak, sehingga akan lebih cepat tercapainya kedewasaan yang mantap. Hidup berkeluarga merupakan sarana pendewasaan yang alami
3. Pengasuhan dan Perkembangan Anak
Anak bukanlah sekedar manusia kecil saja, tetapi mempunyai permasalahan kejiwaan sendiri. Anak juga mempunyai hak terhadap dirinya sendiri. Seharusnya orang tua lebih memandang anaknya sebagai subjek permasalahan bukan objek permasalahan. Untuk merekalah kita bertindak, jadi ukuran tepat tidaknya tindakan kita adalah kesejahteraan mereka. Bukan sekedar keteraturan atau ketertiban fisik belaka.

a. Ibu dengan bayi serta anaknya
Hubungan antara ibu dengan bayi sangatlah erat. Baik itu ibu kandung maupun ibu yang memelihara sejak lahir, jika ibu sedang tegang jiwanya. Bayi ikut tegang dan dapat manifest dalam bentuk mencret-mencret. Karena itu kondisi kejiwaan ibu seharusnya dijaga secara optimal.
Anak pada usia pra sekolah masih sangat terikat pada ibunya walaupun fungsi ayah sudah menonjol. Namun lebih masih penting ibunya. Terutama untuk membesarkan hatinya jika misalnya lahir adiknya yang masih kecil dan perhatian keluarga beralih pada adiknya, cara yang dapat dilakukan seorang itu menyakinkan bahwa dia masih dicintai, bias dengan kalimat yang sederhana dan sikap yang wajar, anak akan merasa jika dia masih dicintai misalnya dengan sekedar perlukan mesra.

b. Ayah dengan Anak Laki-laki dan Perempuannya
Tokoh ayah bagi anak laki-laki merupakan fungsi identifikasi yang sangat penting. Dari sosok ayahlah dia belajar berperan serta mempergunakan berbagai potensi kejiwaannya, termasuk mekanisme pembelaannya.
Anak perempuan melakukan identifikasi yang sifatnya rangkap. Kepada ibu dia belajar bagaimana bersikap di rumah tangga sebagai seorang wanita dan terhadap ayah anak perempuan menerimanya sebagai laki-laki pujaan. Karena itu sebagai kekurangannya akan diterima dengan senang hati secara alami dan jujur karena itu faktor tersebut juga perlu diperhatikan, namun beberapa masalah kesuburan mempunyai masalah sendiri-sendiri sehingga memerlukan pertimbangan khusus.
4. Masalah Keluarga Berencana
Berbagai usaha dapat dilaksanakan untuk mengurangi peluang terjadinya kehamilan sang istri, atau menghadapi masalah kesuburan yang berlebihan, yaitu dengan keluarga berencana,
Beberapa metode keluarga berencana dapat dikelompokkan menjadi beberapa pola seperti di bawah ini:
a Metode tentang berkala dan kondom
Pada istri yang siklus bulanannya teratur metode tentang berkala mungkin memadai, metode pantang berkala membuat jadwal hari-hari dimana suami istri boleh melakukan hubungan seksual 5 hari sebelum dan 5 hari setelah masa ovulasi dan wanita yang siklus hidupnya teratur, ovulasi terjadi 14 sebelum masa haid berikutnya.
b Pil kontrasepsi dan cara Hormonal
Pada cara ini beberapa hormonal dipakai untuk menekan kesuburan wanita, jika pil yang diminum secara teratur kadar hormon dalam tubuh wanita akan cukup menahan kesuburan. Cara lain biasa dilakukan dengan memakai susuk
c Tubektomi dan Faektomi
Metode ini juga disebut sterilisasi, karena dengan cara ini, secara anatomis bertemunya spermatozoa dengan ovum pada pasangan suami istri itu ditutup.

5. Masalah Infertilitas
Kesehatan fisik umum merupakan sarat yang sangat penting dalam fertilitas ini, karena itu kondisi kesehatan umum ini perlu pemeriksaan yang teliti, sebelum pemeriksaan khusus terhadap organ genitaliannya. Karena aktivitas fisik yang berlebihan juga akan menurunkan kesuburan.

6. Perkawinan dan Kesuburan Suami Istri
Salah satu yang dipersoalkan dalam hubungan suami istri adalah kesuburan pasangan itu yang menghasilkan keturunan yang bersama. Baik karena terlalu subur yang perlu pencegahannya, karena akan menimbulkan kewalahan memelihara anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu. Atau pun karena kurang subur, karena mungkin suburnya salah satu pihak, sehingga sama sekali tidak memperoleh anak yang menjadi idaman setiap keluarga.
Undang-undang perkawinan Indonesia mengakui bahwa perkawinan sebagai salah satu alasan yang boleh diterima sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan. Biasanya orang cepat menuduh pihak istri yang mandul jika suatu perkawinan jika dalam waktu yang lama tidak menghasilkan keturunan. Padahal anggapan itu belum tentu benar. Jadi seharusnya kedua belah pihak diperiksa secara medis.
Hidup suami istri merupakan cara hidup yang paling alami dan sesuai dengan kodrat kesehatan mental manusia. Sebab, dengan kehidupan suami istri orang dapat menghayati cinta kasih secara wajar dan langsung. Perkawinan juga tidak hanya sekedar melaksanakan kontrak hubungan seksual, tetapi ikatan cinta yang awalnya selalu direncanakan untuk seumur hidup. Walaupun dalam perjalanannya ternyata dapat terjadi hal-hal sebaliknya, itu semua hal di luar jangkauan kemampuan manusia. Hubungan seksual yang sehat, yaitu dimana kedua pasangan suami istri tersebut di bawah ikatan perkawinan.
Secara medis faktor genetik mempengaruhi tingkat kesuburan, mereka yang berasal dari keluarga yang berasal dari keluarga yang saudaranya berjumlah sedikit secara alami, biasanya secara medis juga akan mempunyai derajat kesuburan yang rendah, oleh suami pernah menderita penyakit gondong, penyakit kelamin, maupun berbagai kelainan yang mengenai organ genetalia laki-laki itu yang dapat mengganggu kesuburan.

a. Menelusuri infertilitas wanita
Seorang wanita mempunyai keterbatasan dalam usia suburnya. Yaitu selama dia masih menjalani menstruasi, selama itu mungkin saja dia menjadi hamil. Namun para ahli kebidanan dan kandungan mengatakan bahwa kehamilan sesudah umur 35 tahun adalah kehamilan berisiko tinggi. Puncak kesuburan wanita pada saat dia berusia 25 tahun.


b. Program inseminasi dan bayi tabung
Di Indonesia hanya diperkenalkan AIH (Artifisial Insemination Husband). Jadi AID (Artificikal Insermination Donor) dengan bank spermanya jelas tidak ada. Hal ini juga mengingat bahwa di negeri kita ini sistem administrasinya masih sangat lemah, segala metode yang mudah mengaburkan kejelasan genetik, maka pertimbangan secara medis akan sangat berbahaya akibatnya. Kecelakaan terjadinya insest dapat mudah terjadi.
Jika suami istri tidak dapat menghasilkan keturunan adalah wajar jika mereka ingin mengangkat anak menjadi buah hatinya walaupun kenyataan jika dinyatakan sebagai anak pungut merupakan kenyataan pahit. Tapi anak pungut juga akan mempunyai ikatan batin dengan orang tuannya.

Sunday, May 09, 2010

Panduan Membuat AD/ART Organisasi

1. AD/ART Organisasi

§ AD/ART berfungsi untuk menggambarkan mekanisme kerja suatu organisasi

§ AD berfungsi juga sebagai DASAR pengambilan sumber peraturan/hukum dalam konteks tertentu dalam organisasi

§ ART berfungsi menerangkan hal-hal yang belum spesifik pada AD atau yang tidak diterangkan dalam AD, Karena AD hanya mengemukakan pokok-pokok mekanisme organisasi saja.§

ART adalah perincian pelaksanaan AD

§ Ketentuan pada ART relatif lebih mudah dirubah daripada ketentuan pada AD.

§ Hal-hal yang tercantum dalam setiap AD/ART suatu organisasi tergantung dari perhatian organisasi tersebut kepada suatu hal. Ada suatu hal yang dalam suatu organisasi dimasukkan dalam AD atau ART-nya karena dianggap penting, tetapi diorganisasi lain bisa jadi hal tersebut tidak dimasukkan dalam AD atau ART organisasi tersebut karena dianggap tidak penting.

Sebagai contoh garis besar gambaran AD/ART dapat seperti berikut :

ANGGARAN DASAR :

§ MUKADIMAH

o Menerangkan dasar-dasar pelaksanaan/keberadaan/fungsi organisasi tersebut

§ BAB I : NAMA dan TEMPAT

Pasal 1 :

(1) Organisasi ini bernama …… (nama organisasi)

(2) …… (nama organisasi) berkedudukan di …….(tempat)

Pasal 2 :

…… (nama organisasi) didirikan pada …. untuk waktu yang tidak ditentukan.

§ BAB II : AZAS, SIFAT dan TUJUAN

Pasal 3 :

…… (nama organisasi) berazaskan Pancasila

Pasal 4 :

…… (nama organisasi) merupakan organisasi ……. (politik, social, dll) yang bersifat (kekeluargaan dll.)

Pasal 5 :

……. (nama organisasi) bertujuan : (menjelaskan visi organisasi)

§ BAB III : USAHA-USAHA (menjelaskan misi organisasi)

§ BAB IV : KEANGGOTAAN

Pasal 7 :

(1) Anggota …… (nama organisasi) adalah setiap orang yang memenuhi syarat dan sudah disahkan

(2) Ketentuan mengenai keanggotaan …… (nama organisasi) diatur dalam ART

§ BAB V : ORGANISASI

Pasal 8 :

(1) …… (nama organisasi) mempunyai wilayah kerja di …

Jika dirasa perlu bisa saja menerangkan hierarki kepengurusan

Pasal 9 :

(1) Kekuasaan tertinggi pada ……

(2) Kepengurusan diatur dalam …….

Pasal 10 :

Pengurus bertugas :

§ BAB VI : MUSYAWARAH dan RAPAT

Pasal 11 :

(1) Musyawarah diadakan pada

Pasal 12 :

(1) Musyawarah …. memiliki wewenang

Pasal 13 :

Dalam keadaan luar biasa dapat diadakan musyawarah …

Pasal 14 :

Pengambilan keputusan dalam musyarah dan rapat-rapat yang tersebut pad pasal-pasal dalam bab IV diatas dilakukan dengan

§ BAB VII : LAMBANG

Pasal 15 :

…… (nama organisasi) mempunyai lambang dengan bentuk serta makna sebagaimana diatur dalam ART

§ BAB VIII : KEUANGAN

Pasal 16 :

Keuangan …. (nama organisasi) diperoleh dari :

a. Uang pangkal dan uang iuran

b. Sumbangan dalam bentuk apapun yang sah dan tidak mengikat

c. Penerimaan-penerimaan lain yang sah

d. Usaha yang sah

Pasal 17 :

Besarnya uang pangkal dan uang iuran ditetapkan oleh ….

Pasal 18 :

Dana yang diperoleh dipergunakan untuk membiayai …

§ BAB IX : ANGGARAN RUMAH TANGGA

Pasal 19 :

(1) Hal-hal yang tidak diatur didalam Anggaran Dasar akan diatur didalam Anggaran Rumah Tangga yang merupakan pula perincian pelaksanaan Anggaran Dasar

(2) ART dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya tidak boleh bertentangan dengan AD

§ BAB X : PERUBAHAN ANGGARAN DASAR dan ANGGARAN RUMAH TANGGA

Pasal 20 :

(1) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ditetapkan oleh ….

(2) Perubahan AD dan ART dianggap sah jika …

§ BAB XI : PEMBUBARAN

Pasal 21 :

Pembubaran (nama organisasi) ditetapkan dan diatur dalam …. , atas permintaan ….

(atau dapat juga alasan-alasan lainnya)

§ BAB XII : PENUTUP

Pasal 22 :

Hal-hal lain yang tidak diatur di dalam AD dan ART, diatur dalam ….

Ditetapkan di :

Pada tanggal :

(PENGESAHAN)

ANGGARAN RUMAH TANGGA

§ BAB I : UMUM

Pasal 1 :

Anggaran Rumah Tangga …… (nama organisasi) merupakan pengaturan lebih lanjut dari AD ….. (nama organisasi)

§ BAB II : ORGANISASI …… (nama organisasi)

Menjelaskan spesifikasi misi dan pembagian tanggungjawab dari kerja organisasi

§ BAB III : PENDIDIKAN

Menjelaskan proses pendidikan / jenjang pendidikan dll.

§ BAB IV : PERTEMUAN / KERJASAMA DENGAN (ORGANISASI LAINNYA YANG SESIFAT)

§ BAB V : KEANGGOTAAN

Keanggotaan …… (nama organisasi) terdiri dari :

a. Anggota Muda

b. Anggota Biasa

c. Anggota kehormatan

Pasal 10 :

(1) Anggota Muda

Dijelaskan persyaratannya

(2) Anggota Biasa

Dijelaskan persyaratannya

(3) Anggota Kehormatan

Berdasarkan pertimbangan jasa, dll.

Pasal 11 :

Setiap anggota mempunyai hak dan kewajiban :

Pasal 12 :

(1) Keanggotaan seseorang diberhentikan karena :

(2) Pemberhentian sementara dilakukan oleh ……

Pasal 13 :

Pengurus dibentuk oleh …. dengan cara ….. untuk masa kerja …..

Pasal 14 :

Pengurus mempunyai hak dan kewajiban :

§ BAB VI : MUSYAWARAH dan RAPAT

Pasal 36 :

(1) Musyawarah diselenggarakan … kali dalam …. (jangka waktu)

(2) Musyawarah ……. dihadiri oleh :

(3) Sidang dianggap sah jika ….

§ BAB VII : LAMBANG dan PENGGUNAANNYA

Pasal 37

§ BAB VIII : KEUANGAN

§ BAB VIX : KETENTUAN PENUTUP

Hal-hal yang belum diatur dalam ART ini diatur dalam ….

Ditetapkan di :

Pada tanggal :

Saturday, April 17, 2010

Metode Penelitian Pendidikan

Penelitian Eksperimen
Dan Penelitian Historis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Penelitian
Penelitian adalah suatu penyelidikan atau suatu usaha pengujian yang dilakukan secara teliti, dan kritis dalam mencari fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan menggunakan langkah-langkah tertentu.
Dalam mencari fakta-fakta ini diperlukan usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap suatu masalah. Beberapa pakar lain memberikan definisi penelitian sebagai berikut:

1. David H Penny : Penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta.

2. J. Suprapto : Penelitian adalah penyelidikan dari suatu bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, serta sistematis.

3. Sutrisno Hadi : Sesuai dengan tujuannya, penelitian dapat diartikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.

4. Mohammad Ali : Penelitian adalah suatu cara untuk memahami sesuatu melalui penyelidikan atau usaha mencari bukti-bukti yang muncul sehubungan dengan masalah itu, yang dilakukan secara hati-hati sekali sehingga diperoleh pemecahannya.

5. The New Horison Ladder Dictionar: Pengertian research ialah a careful study to discover correct information, yang artinya, suatu penyelidikan yang dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh informasi yang benar.

Secara etimologi, penelitian berasal dari bahasa Inggris Å“research (re berarti kembali, dan search berarti mencari). Dengan demikian research berarti mencari kembali.
Menurut kamus Websterâ New Internasional, penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu.
Hillway dalam bukunya Introduction to research mengemuka-kan bahwa penelitian adalah suatu metode belajar yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. (Hillway, 1965)
Tuckman mendefinisikan penelitian (research) : Å“ a systematic attempt to provide answer to question yaitu penelitian merupakan suatu usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap suatu masalah.
Sistematis artinya mengikuti prosedur atau langkah-langkah tertentu. Jawaban ilmiah adalah rumusan pengetahuan, generaliasi, baik berupa teori, prinsip baik yang bersifat abstrak maupun konkret yang dirumuskan melalui alat- primernya, yaitu empiris dan analisis. Penelitian itu sendiri bekerja atas dasar asumsi, teknik dan metode.
Kadang-kadang orang menyamakan pengertian penelitian dengan metode ilmiah. Sesuai dengan tujuannya, Penelitian dapat diartikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dimana usaha-usaha itu dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.
Kegiatan penelitian adalah suatu kegiatan objektif dalam usaha mengembangkan, serta menguji ilmu pengetahuan berdasarkan atas prinsip-prinsip, teori-teori yang disusun secara sistematis melalui proses yang intensif dalam pengembangan generalisasi. Sedangkan metode ilmiah lebih mementingkan aplikasi berpikir deduktif-induktif di dalam memecahkan suatu masalah.
Fokus perhatian dalam suatu penelitian adalah masalah, masalah yang muncul dalam pikiran peneliti berdasarkan penelaahan situasi yang meragukan (a perplexing situation) Masalah adalah titik sentral dari keseluruhan penelitian.
Pada bagian pembahasan ini kami akan membahas dua metode penelitian dari beberapa metode yang ada, yaitu :
1. Metoda penelitian Eksperimen
2. Metoda Penelitian Historis ( Sejarah )



























BAB II
PEMBAHASAN

A. PENELITIAN EKSPERIMEN
Jenis penelitian lain yang juga sering dilakukan oleh seorang peneliti yaitu adalah penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen variabel-variabel yang ada termasuk variavel bebas atau independent variable dan variabel terikat (dependent variable), sudah ditentukan secar tegas oleh para peneliti sejak awal penelitian.
Variabel bebas biasanya merupakan variabel yang dimanipulasi secara sistematis. Di bidang pendidikan diidentifikasi sebagai variabel bebas di antaranya termasuk: metode mengajar, macam-macam penguatan (reinforcement), frekuensi penguatan, sarana prasarana pendidikan, lingkungan belajar, materi belajar, jumlah kelompok belajar, dan sebagainya. Sedangkan variabel terikat yang sering juga disebut sebagai citerion variable merupakan variabel yang diukur sebagai akibat adanya manipulasi pada variabel bebas. Variabel terikat ini disebut juga dependent variabel karena memang fungsi mereka yang tergantung dari variabel bebas. Yang sering dikelompokkan sebagai variabel terikat di bidang pendidikan, misalnya hasil belajar siswa, kesiapan belajar siswa, kemandirian siswa, dan sebagainya.
Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang paling produktif, karena jika penelitian tersebut dilakukan dengan baik dapat menjawab hipotesis yang utamanya berkaitan dengan hubungan sebab akibat. Di samping itu, penelitian eksperimen juga merupakan salah satu bentuk penelitian yang memiliki syarat yang relatif lebih ketat jika dibandingkan dengan jenis penelitian lainnya. Hal ini karena sesuai dengan maksud para peneliti yang menginginkan adanya kepastian untuk memperoleh informasi tentang variabel mana yang yang menyebabkan sesuatu terjadi dan variabel yang memperoleh akibat dari terjadinya perubahan dalam suatu kondisi eksperimen, dengan kata lain suatu penelitian eksperimen pada prinsipnya dapat didefinisikan sebagai metode sistematis guna membangun hubungan yang mengandung fenomena sebab akibat (Causal-effect relationship).
Contoh hubungan sebab akibat di bidang pendidikan misalnya, seorang mahasiswa mempunyai nilai matematika tinggi cenderung berhasil menyelesaikan mata kuliah merencang mesin. Penelitian eksperimen pada umumnya dilakukan oleh peneliti dengan tujuan mengatur situasi di mana pengaruh beberapa variabel terhadap satu atau variabel terikat dapat diidentifikasi.

Konsep metode eksperimen dimulai dengan pengertian yang sederhana misalnya tentang pertanyaan yang berkaitan dengan bagaimanakah hubungan satu atau lebih variabel dalam suatu kondisi tertentu? untuk menjawab pertanyaan tersebut, seorang peneliti pada umumnya akan mengembangkan satu atau lebih hipotesis yang menyatakan hubungan yang dihadapkan, membuat desain penelitian, mencari dan mengorganisasi data untuk kemudian menganalisis dan akhirnya memperoleh jawaban hipotesis di atas. Sebagai contoh misalnya, untuk mendapatkan pengaruh antara dua metode mengajar pada mata kuliah metodologi penelitian sebagai fungsi besarnya jumlah siswa dalam kelas (besar dan kecil), dan tingkat inteligensi mahasiswa (tinggi, rerata, dan rendah), kemudian pada akhir penelitian diukur hasil pencapaian belajar dengan tes hasil belajar.
Di bidang pendidikan penelitian eksperimen dapat dibedakan menjadi dua macam bentuk, yaitu penelitian di dalam laboratorium dan penelitian di luar laboratorium. Penelitian di laboratorium, dilaksanakan peeneliti di dalam ruangang tertutup atau dalam kondisi tertentu untuk meningkatkan intensitas yang lebih teliti terhadap veriabel yang diteliti. Sedangkan penelitian di luar laboratorium yang disebut juga penelitian lapangan, biasanya di’lakukan peneliti guna mendapatkan hasil penelitian yang mendekati dengan lingkungannya, misalnya masyarakat.
Dalam penelitian eksperimen lapangan pada umumnya dapat berupa kegiatan kelas, sekolah, kegiatan praktik di bengkel, atau pertemuan sekolah lainnya diambil secara alami. Sejalan dengan subjek yang diteliti adalah anak atau seorang manusia, di bidang pendidikan dari kedua macam bentuk penelitian eksperimen tersebut penelitian di luar laboratorium adalah bentuk penelitian yang paling banyak dilakukan, karena mempunyai beberapa keunggulan seperti:
1) variabel eksperimen dapat lebih kuat dilapangan dibanding penelitian di laboratorium
2) lebih mudah dalam memberikan perlakuan]
3) dapat dilakukan proses eksperimen dengan setting yang mendekati keadaan sebenarnya
4) hasil eksperimen lebih aktual dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pendidik

walaupun demikian, eksperimen di laboratorium juga memiliki keunggulan yang utama adalah bahwa penelitian eksperimen di laboratorium lebih cocok untuk problem yang berkaitan dengan misi pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pendidikan.
Di bidang pendidikan, ada dua alasan mengapa penelitian eksperimen cocok dilakukan. Pertama, metode pengajaran yang lebih tepat di setting secara alami dan dikomparasikan di dalam keadaan yang tidak bias. Kedua, penelitian dasar (fundamental research) dengan tujuan menurukan prinsip-prinsip umum teoritis ke dalam ilmu terapan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para penyelenggara sekolah.

a. Karakteristik Penelitian Eksperimen
Penelitian eksperimen pada umumnya, menurut (Ary, 1985), mempunyai tiga karakteristik penting, yaitu:
1) variabel bebas yang dimanipulasi
2) variabel lain yang mungkin berpengaruh dikontrol agar tetap konstan
3) efek atau pengaruh manipulasi variabel bebas dan variabel terikat diamati secara langsung oleh peneliti



ketiga karakteristik tersebut secara singkat diuraikan pada subbab berikut ini.
1. Memanipulasi
Karakteristik pertama yang selalu ada dalam penelitian eksperimen adalah adanya tindakan manipulasi variabel yang secara terencana dilakukan oleh si peneliti. Memanipulasi variabel ini tidak mempunyai arti yang negatif seperti yang terjadi di luar konteks penelitian. Yang dimaksud dengan manipulasi yaitu tindakan atau perlakuan yang dilakuakan oleh seorang peneliti atas dasar pertimbangan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka guna memperoleh perbedaan efek dalam variabel terikat.
Pada penelitian pendidikan dan penelitian tingkah laku, manipulasi variabel, misalnya peneliti mengambil bentuk sifat di mana peneliti melaksanakan sesuatu sebagai penentu awal dengan kondisi yang bervariasi pada subjek yang diteliti.
Misalnya dalam suatu proses penelitian laboratorium, dua kelompok yaitu treatment dan kelompok kontrol diberikan suhu ruangan yang bertingkat, yaitu dingin, sedang, dan panas.
Perbedaan kondisi ruang tersebut direncanakan sebagai penentu awal agar mereka memperoleh hasil yang mungkin berbeda di antara kedua grup. Perbedaan yang muncul tersebut diperhitungkan sebagai akibat adanya manipulasi variabel terhadap dua kelompok.

2. Mengontrol Variabel
Karakteristik kedua yang selalu ada dalam penelitian eksperimen adalah adanya kontrol yang secara sengaja dilakukan oleh peneliti terhadap variabel atau ubahan yang ada. Mengenai yang dimaksud dengan kontrol (Gay, 1982) adalah seperti berikut,
Mengontrol merupakan usaha peneliti untuk memindahkan pengaruh variabel lain terhadap variabel terikat yang mungkin mempengaruhi penampilan variabel tersebut.
Kegiatan mengontrol suatu variabel atau subjek dalam penelitian eksperimen memiliki peranan yang sangat penting, karena tanpa melakukan kontrol secara sistematis, seorang peneliti tidak mungkin dapat melakukan evaluasi dengan melakukan pengukuran secara cermat terhadap variabel terikat. Untuk mengatasi hal tersebut maka proses eksperimen harus dipisahkan dengan variabel luar (extraneous variable) yang tidak diperlukan tetapi memiliki potensi yang mungkin dapat mempengaruhi hasil pengukuran padan variabel terikat.
Dengan dilakukannya pemisahan variabel luar dengan variabel yang diperlukan tersebut, sehingga peneliti yakin bahwa apabila terjadi perbedaan pada variabel terikat di antara group konrol dan grup treatment . atau dengan kata lain, perbedaan tersebut disebabkan oleh perubahan treatment yang dilakukan oleh peneliti pada variabel bebas.
Dalam penelitian eksprimen, seorang peneliti jarang hanya melakukan pengamatan pada grup kontrol. Mereka biasanya juga mengamati grup lain yang memproleh perlakuan khusus, kemudian mereka melakukan analisis perbedaan antara keduanya-grup eksprimen dan grup kontrol.
Dalam pelaksanaan penelitian eksperimen, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebaiknya diatur secara intensif sehingga kedua variabel mempunyai kaarakteristik sama atau mendekati sama. Yang membedakan dari kedua kelompok ialah grup eksperimen diberi treatment atau perlakuan tertentu, sedangkan grup kontrol diberikan teratment seperti keadaan biasanya.

3. melakukan observasi
karakteristik dalam suatu penelitian eksperimen adalah adanya tindakan observasi yang dilakukan oleh peneliti selama proses eksperimen berlangsung. Selama proses penelitian berlangsung, peneliti melakukan observasi terhadap kedua kelomok tersebut. Tujuan melakukan observasi adalah untuk melihat dan mencatat fenomena apa yang muncul yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara kedua kelompok.
Tindakan observasi dilakukan peneliti pada umumnya mempunyai tujuan agar dapat mengamati dan mencatat fenomena yang muncul dalam variabel terikat sebagai akibat dari adanya kontrol dan manipulasi variabel.
Dalam proses eksperimen yang biasanya ada dua kelompok, yaitu variabel bebas dan variabel terikat, maka peneliti dianjurkan untuk lebih melakukan pengamatan pada variabel terikat, yaitu variabel yang biasanya menerima akibat terjadinya prubahan secara sistematis dalam variabel bebas.

b. Proses Penelitian Eksperimen
Langkah penelitian eksperimen pada prinsipnya sama dengan jenis penelitian lainnya. Yang secara eksplisit dapat dilihat seperti berikut:
1. Melakukan kajian secara induktif yang berkaitan erat dengan permasalah yang hendak dipecahkan.
2. Mengidentifikasi permasalahan
3. Melakukan studi literatur dari beberapa sumber yang relevan, memformulasikan hipotesis penelitian, menentukan definisi operasional dan variabel.
4. Membuat rencana penelitian yang didalamnya mencakup kegiatan:
a. mengidentifikasi variabel luar yang tidak diperlukan, tetapi memungkinkan terjadi kontaminasi proses eksperimen;
b. menentukan cara untuk mengontrol mereka;
c. memilih desain riset yang tepat;
d. menentuak populasi, memilih sampel yang mewakili dan memilih (assign) sejumlah subjek penelitian;
e. membagi subjek ke dalam kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen;
f. membuat insrtumen yang sesuai, memvalidasi instrumen dan melakukan pilot study agar memperoleh instrumen yang memenuhi persyaratan untuk mengambil data yang diperlukan;
g. mengidentifikasi prosedur pengumpulan data, dan menentukan hipotesis.
5. Melakukan eksperimen
6. Mengumpulkan data kasar dari proses eksperimen
7. Mengorganisasi dan mendeskripsikan data sesuai dengan variabel yang telah ditentukan
8. Melakukan analisis data dengan teknik statistka yang relevan
9. Membuat laporan penelitian eksperimen

Pada kondisi yang sama, (Guy, 1982: 201) dalam penelitian eksperimen menekankan perlu adanya langkah-langkah seperti berikut:
a) Adanya permasalahan yang signifikan untuk ditelitti.
b) Pemilihan subjek yang cukup untuk dibagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
c) Pembuatan atau pengembangan eksperimen
d) Pemilihan desain penelitian.
e) Eksekusi prosedur.
f) Melakukan analisis data.
g) Memformulasikan kesimpulan.

Dalam penelitian eksperimen peneliti diharuskan menyusun variabel-variabel minimal satu hipotesis yang menyatakan harapan hubungan sebab akibat di antara variabel-variabel yang terjadi.

c. Desain Penelitian
Secara definisi, desain penelitian mempunyai dua macam pengertian, yaitu secara luas dan sempit. Secara luas, desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dalam hal ini komponen desain dapat mencakup semua struktur penelitian yang diawali sejak menemukan ide, menentukan tujuan, kemudian merencanakan proses penelitian, yang di dalamnya mencakup perencanaan permasalahan, merumuskan, menentukan tujuan penelitian, mencari sumber informasi dan melakukan kajian dari berbagai pustaka, menentukan metode yang digunakan, analisis data dan mengetes hipotesis untuk mendapatkan hasil penelitian, dan sebagainya. Arti desain penelitian secara luas ini didukung oleh pendapat dari beberapa ahli (Babbie, 1983) dan (Nazir, 1988). Lebih jauh (Babbie, 1983), tentang desain penelitian yang mengatakan bahwa research design addrsses the planning of scientific inquires.
Seorang peneliti memang perlu mempertimbangkan sejak munculnya rasa ketertatikan mereka terhadap masalah yang muncul dalam suatu objek atau subjek di sekitarnya, kemudian diteruskan pemikiran lebih jauh guna menangkap dan merangkaikan ide dan teori yang mendasari dari interes peneliti terhadap sesuatu yang ingin diteliti. Atau dengan kata lain, pemikiran dari yang masih sifatnya abstrak ini dilanjutkan sampai pada langkah yang lebih nyata atau operasional, di antaranya yaitu menghubungkan pada konteks dan permasalahan. Variabel yang terkait dalam permasalahan, pemilihan metode, teknik sampling, administrasi data, analisis data dan sampai akhirnya pada pembuatan laporan penelitian.
Desain penelitian secara sempit dapat diartikan sebagai penggambaran secara jelas tentang hubungan antarvariabel, pengumpulan data dan analisis data, sehingga dengan adanya desain baik peneliti maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai gambaran tentang bagaimana keterkaitan antara variabel yang ada dalam konteks penelitian dan apa yang hendak dilakukan oleh seorang peneliti dalam melaksanakan penelitian. Desain penelitian yang dibuat secara cermat akan memberikan gambaran yang lebih jelas pada kaitannya dengan penyusunan hipotesis dengan tindakan yang akan diambil dalam proses penelitian selanjutnya.
Contoh aplikasi nyata perlunya desain penelitian (Campbel dan Stranley, 1966), mengenai desai penelitian yang jumlahnya 12 model dan terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu praeksperimen, eksperimen, dan eksperimen semu (quasi exsperiment). Desain pertaama adalah model praeksperimen, bentuk model ini sederhana dengan menggunakan variable tunggal, mungkin peneliti akan berpendapat bahwa desain tidak perlu karena dengan pemahaman selintas, para peneliti dapat mengetaghui tindakan apa yang dilakukan dan implikasi apa yang perlu untuk mendapatkan data yang diperlukan di lapangan.
d. Ancaman Terhadap Validitas Dalam Rancangan Eksperimental.
Sebagian besar buku-buku penelitian ada mengenai ancaman validitas cenderung mengacu pada buku Eksperomentall and Quasi-Eksperimentall Design for Research oleh Campbell dan Stanley (1963). Buku-buku tersebut telah mengangkat sumber-sumber yang tidak valid dan juga termasuk rancangan eksperimental.
Suatu eksperimental disebut valid apabila hasil yang diperoleh samata-mata disebabkan oleh pemanipulasian variabel bebas dan memperoleh hasil yang sama bila dilakukan di luar situasi eksperimen. Validasi internal mengarah pada suatu kondisi bahwa perbedaan yang diamati ada variabel terikat adalah semata-mata hasil langsung dari pemanipulasian variabel bebas, bukan dari variabel-variabel lain (Gay, 1976). Pertanyaan yang dikemukakan dalam validasi internal adalah: apakah perlakuan yang diberikan di dalam eksperimen benar-benar membawa perubahan variabel terikat? Apakah variabel bebas benar-benar membuat perbedaan yang signifikan? Ary, dkk. (1972) mengatakan bahwa penyidik tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara positif jika rancangan yang diberikan sebelumnya tidak memberikan kontrol yang cukup pada variabel yang tidak berhubungan. Derajat yang hasilnya dapat dihubungkan pada pemanipulasian variabel bebas dan bukan dari sesuatu yang lain dikatakan valid secara internal.
Ancaman terhadap Validasi Internal. Campbell dan Stanley mengidentifikasi ancaman terhadap validasi internal atas delapan ancaman dasar yaitu sebagai berikut:
1. Sejarah. Beberapa peristiwa mungkin akan terjadi selama dilakukan eksperimen dan akan mengakibatkan perubahan serius pada variabel terikat. Peristiwa-peristiwa tesebut bukan bagian dari perlakuan eksperimental, dan dapat memberikan pengaruh yang serius pada variabel terikat. Jika seandainya kita ingin mengukur sikap, sebagai hasil studi, dan diantara pengukuran, film-film yang relevan dari study kita dipertunjukkan oleh guru-guru lain tanpa menduga bahwa hal itu merupakan variabek intervening kita, maka pada saat mengetes subjek-subjek, kita sebenarnya mengukur efek film-film tersebut, bukan mengukur perlakuan eksperimental. Hal ini dapat terjadi karena kita tidak mengontrol kejadian-kejadian tersebut. Oleh karena itu dalam rancangan awal seharusnya kita bisa mengontrol variabel yang tidak berhubungan.
2. Kematangan. Campbell dan Stanley (1963) menjelaskan istilah ini sebagai proses psikologis atau biologis yang secara sistemtis bervariasi sesuai dengan perjalanan waktu, serta bebas dari kejadian eksternal khusus. Di antara dua waktu pengukuran, subjek akan semakin dewasa, lapar, letih, bosan dan seterusnya. Hal ini akan dapat merintangi pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Jika kita sebagai peneliti di mana subjek kita merasa letih dan bosan karena terlalu lama bekerja, maka ada kemungkinan eksperimen kita tidak memiliki validitas internal.
3. Pengujian. Pengujian diartikan sebagai peningkatan prestasi subjek pada pasca uji yang merupakan fungsi dari pas uji dan bukan karena perlakuan eksperimental. Kondisi seperti ini dapat terjadi pada ujian-ujian yang mudah diingat. Salah satu cara untuk mengontrol kemungkinan ancaman ini adalah tidak memberikan prauji. Kemungkinan alternatif lain adalah dengan menggunakan bentuk-bentuk ujian lain.
4. Instrumen. Ancaman insrumen terhadap validitas internal terjadi pada situasi berikut ini.
a. Bila pra- dan pasca uji tidak memiliki tingkat kesukaran yang sama;
b. Bila soal ujian bentuk esai digunakan dalam pengukuran, dan nilai dari ujian pertama dan kedua berfluktuasi;
c. Bila wawancara digunakan untuk mengukur keberhasilan, dan subjek terbiasa dengan jadwal wawancara tersebut, sehingga dapat mempengaruhi wawancara berikutnya;
d. Bila pengamatan digunakan sebagai alat pengukuran, dari para pengamat melakukan cara-cara sendiri dalam pengamatan perlakuan pra- dan pasca uji.
e. Bila menggunakan alat mekanik untuk mengukur keberhasilan mungkin tidak dapat berfungsi karena rusak.

5. Regresi Statistika. Ancaman regresi statistik ini pada validitas internal terjadi apabila apabila prauji yang dilakukan pada subjek-subjek yang ditetapkan ada yang memperoleh skor yang terlalu tinggi dan yang terlalu rendah. kecenderungan skor sub (mean) tanpa pengaruh dari perlakuan. Mahasiswa yang pintar cenderung akan menurun dan sebaliknya mahasiswa yang bodoh akan cenderung meningkat. Campbell dan Stanley menguji ganda (test-retest) yang tidak sempurna untuk kelompok demikian ini maka salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah dengan menyeleksi skor yang eksterm dari subjek eksperimental tersebut.
6. seleksi. Ancaman ini terjadi bila subjek yang dipilih melalui kelompok, dan bukan secara individual. Sekiranya kita mengambil satu dari empat bagian sebagai kelompok eksperimen dan bagian lain sebagai kelompok kontrol. Disini kita tidak dapat mempertimbangkan karakteristik individu sehingga komposisi kelompok tesebut bisa benar-benar tidak seimbang. Hal ini bukan suatu kasus oleh karena itu subjek yang akan dimanfaatkan untuk penyelidikan harus-harus benar-benar ditetapkan secara seimbang yang didasarkan atas variabel tertentu seperti jenis kelamin, umur, status sosial-ekonomi, dan lain-lain.
7. Mortalitas. Ancaman mortalitas sebagai hilangnya (drop-out) subjek eksperimen karena berbagai alasan. Misalnya menyeluruh dari kelompok asli. Termasuk subjek-subjek yang drop-out itu.
8. Interaksi Seleksi-Kematangan, dan sebagainya. Dan sebagainya berarti faktor-faktor lain seperti sejarah dan pengkajian juga dapat berinteraksi dengan seleksi dan kematangan biasanya selalu berinteraksi. Interaksi seleksi-kematangan ini muncul apabila kelompok-kelompok subjek yang sudah terbentuk tersebut, ada di antaranya yang memperoleh keuntungan lebih besar perlakuan yang diberikan peneliti atau mungkin ada kelebihan sejak awal pengelompokan karena adanya kematangan, sejarah, atau faktor-faktor pengujian. Misalnya kelompok eksperimen yang terbentuk oleh peneliti diajar oleh dosen lain. Tentu subjek eksperimen kita memperoleh masukan yang lebih banyak. Tetapi ajuan yang digunakan untuk pasca uji tetap mengacu dari bahan yang diajarkan oleh peneliti. Di sini, tentu ada interaksi antara seleksi dan sejarah.

Ancaman terhadap Validitas Eksternal. Validitas eksternal menunjukkan pada suatu keadaan di mana hasilnya dapat digeneralisasikan, atau dapat diterapkan pada kelompok-kelompok atau lingkungan lain diluar daerah eksperimen (Gay, 1976). Ini berarti bahwa hasil studi menegaskan hubungan sebab- akibat, diharapkan dapat ditegaskan kembali pada kelompok, kondisi dan waktu yang lain, sepanjang kondisi-kondisinya sama dengan studi yang telah dilakukan sebelumnya. Jika suatu eksperimen yang melibatkan mahasiswa berkreasi tinggi di Metro Manila memperoleh beberapa hasil, kesimpulan-kesimpulan yang sama dapat dipakai pada mahasiswa-mahasiswi berkreasi tinggi di Makati, dengan catatan variabel-variabelnya sama .
Jika penemuan-penemuan dari suatu eksperimen tidak dapat digeneralisasikan dengan populasi lain, apa yang akan mereka gunakan untuk kelompok lain? Sehubungan dengan validasi eksternal, ada beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan: Bagaimana populasinya, kondisinya, variabel-variabel eksperimennya, dan apakah hasilnya dapat digeneralisasikan Bract dan Glass (dalam Ary, dkk., 1972) telah mengidentifikasi dua tipe validitas eksternal yaitu: validitas populasi dan validitas ekologis. Validitas populasi menanyakan, ” apakah subjek populasi bisa diaharapkan berkelakuan dalam cara yang sama seperti pada subjek eskperimen”? Validitas Ekologis adalah berhubungan dengan generalisasi pengaruh eksperimental pada kondisi lingkungan yang lain. Validitas ekologis menanyakan, ”pada kondisi-kondisi yang sama (letak, perlakuan, penyelidik, variabel terikat dan sebagainya). Hasilnya dapat diharapkan sama?

B. Penelitian Historis (Sejarah)
1. Pengertian dan Tujuan Penelitian Historis
Secara umum dapat dimengerti bahwa penelitian historis merupakan penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis. Atau dapat dengan kata lain yaitu penelitian yang bertugas mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada waktu penelitian dilakukan. Penelitian historis di dalam pendidikan merupakan penelitian yang sangat penting atas dasar beberapa alasan.
Penelitian historis bermaksud membuat rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan bukti-bukti untuk mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan yang kuat. Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong objek-objek yang diobservasi.
Menurut Jack. R. Fraenkel & Norman E. Wallen, 1990 : 411 dalam Yatim Riyanto, 1996: 22 dalam Nurul Zuriah, 2005: 51 penelitian sejarah adalah penelitian yang secara eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba merenkonstruksi apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat mungkin, dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dalam mencari data dilakukan secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Sementara menurut Donald Ary dkk (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 22) dalam Nurul Zuriah , 2005: 51 juga menyatakan bahwa penelitian historis adalah untuk menetapkan fakta dan mencapai simpulan mengenai hal-hal yang telah lalu, yang dilakukan secara sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam mencari, mengvaluasi dan menafsirkan bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru tersebut.

Berdasarkan pendangan yang disampaikan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian penelitian sejarah mengandung beberapa unsur pokok, yaitu :
• Adanya proses pengkajian peristiwa atau kejadian masa lalu (berorientasi pada masa lalu);
• Usaha dilakukan secara sistematis dan objektif;
• Merupakan serentetan gambaran masa lalu yang integrative anatar manusia, peristiwa, ruang dan waktu;
• Dilakukan secara interktif dengan gagasan, gerakan dan intuiasi yang hidup pada zamannya (tidak dapat dilakukan secara parsial).

2. Tujuan Penelitian Historis
Adapun yang menjadi tujuan penelitian sejarah atau historis adalah untuk memahami masa lalu, dan mencoba memahami masa kini atas dasar persitiwa atau perkembangan di masa lampau (Jhon W. Best, 1977 dalam Yatim Riyanto, 1996: 23 dalam Nurul Zuriah 2005: 52). Sedangkan Donal Ary (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 23) dalam Nurul Zuriah (2005: 52) menyatakan bahwa penelitian historis untuk memperkaya pengetahuan peneliti tentang bagaiman dan mengapa suatu kejadian masa lalu dapat terjadi serta proses bagaimana masa lalu itu menjadi masa kini, pada akhirnya, diharapkan meningkatnya pemahaman tentang kejadian masa kini serta memperolehnya dasar yang lebih rasional untuk melakukan pilihan-pilihan di masa kini.
Berikutnya Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wellen (1990) dalam Yatim Riyanto (1996: 23) dalam Nurul Zuriah (2005: 52) menyetakan bahwa para peneliti pendidikan sejarah melakukukan penelitian sejarah dengan tujuan untuk :
• Membuat orang menyadari apa yang terjadi pada masa lalu sehingga mereka mungkin mempelajari dari kegagalan dan keberhasilan masa lampau;
• Mempelajari bagaiman sesuatu telah dilakukan pada masa lalu, untuk melihat jika mereka dapat mengaplikasikan maslahnya pada masa sekarang;
• Membantu memprediksi sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang;
• Membantu menguji hipotesis yang berkenaan dengan hubungan atau kecendrungan. Misalnya pada awal tahun 1990, mayoritas guru-guru wanita datang dari kelas menengah ke atas, tetapi guru laki-laki tidak;
• Memahami praktik dan politik pendidikan sekarang secara lebih lengkap.
Dengan demikian, tujuan penelitian sejarah tidak ldapat dilepaskan dengan kepentingan masa kini dan masa mendatang.

3. Sumber-Sumber Data dalam Penelitian Historis
Oleh karena objek penelitian sejarah adalah peristiwa atau kehidupan masyarakat pada masa lampau maka yang menjadi sumber informasi harus mempunyai karakteristik yang berbeda dengan metode penelitian lainnya. Beberapa sumber tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
Sumber-sumber primer, yaitu data yang diperoleh dari cerita para pelaku perisriwa itu sendiri, dan atau saksi mata yang mengalami atau mengetahui peristiwa tersebut. Contoh sumber-sumber primer lainnya yang sering menjadi perhatian perhatian para peneliti di lapangan atau situs di anataranya seperti, dokumen asli, relief dan benda-benda peninggalan masyarakat zaman lampau.
Sumber informasi sekunder, yaitu informasi yang diperoleh dari sumber lain yang mungkin tidak berhubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Sumber sekunder ini dapat berupa para ahli yang mendalami atau mengetahui peristiwa yang dibahas dan dari buku atau catatan yang berkaitan dengan peristiwa, buku sejarah, artikel dalam ensiklopedia, dan review penelitian.Dari adanya sumber primer dan sekunder ini, sebaiknya peneliti apabila mungkin lebih memberikan bobot sumber-sumber data primer lebih dahulu, baru kemudian data sekunder, data tersier, dan seterusnya.

4. Langkah-Langkah Dalam Penelitian Historis
Menurut M. Subana dkk. 2005: 88, adapun kerangka penelitiannya yaitu :
• Pendefinisian Masalah
• Perumusan masalah
• Pengumpulan data
• Analisis data
• Kesimpulan
Sebagai contoh :
Judul :
Penelurusan komunisme di Indonesia Tahun 1945 hingga tahun 1965.

Perumusan masalah :
Apakah komunisme yang ada di masyarakat Indonesia merupakan warisan penjajah atau kebudayaan asli ?

Pengumpulan data :
Analisis dokumen, wawancara
Dari sumber primer dan sumber sekunder

Analisis data :
Cenderung melibatkan analisis yang logis, bukan analisis statistika, kalau pun perlu statistika hanya sebatas statistic deskriptif.

Kesimpulan :
Misalnya, tidak benar bahwa komunisme merupakan budaya warisan penjajah yang menular pada bangsa kita.

Sedangkan menurut Yatim Riyanto (1996: 23) dalam Nurul Zuriah (2005: 53) ada 4 (empat) langkah esensial dalam penelitian sejarah, yaitu sebagai berikut :
1) Merumuskan Masalah
Dalam merumuskan masalah historis terdapat beberapa persyaratan sebagaimana dalam penelitian yang lain, yaitu :
Seharusnya dinyatakan secara jelas dan ringkas,
• Manageable, dan
• Memiliki rasional yang kuat.
• Menemukan Sumber Informasi sejarah yang Relevan
Secara umum sumber informasi yang relevan dalam penenlitian sejarah dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian berikut ini.
 Dokumen
Dokumen, yaitu materi yang tertulis atau tercetak dalam bentuk buku, majalah, Koran, buku catatan, dan sebagainya. Dokumen merujuk pada beberapa jenis informasi yang eksis ke dalam bentuk tertulis atau cetak.

 Rekaman yang Bersifat Numerik
Rekaman yang bersifat numeric, yaitu rekaman yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk data numerik, mislanya skor tes, laporan sensus, dan sebagainya.

 Pernyataan Lisan
Pernyataan lisan, yaitu melakukan interview dengan orang yang merupakan saksi saat peristiwa lalu terjadi. Ini merupakan bentuk khusus dari penelitian sejarah yang disebut oral history.

 Relief
Relief, yaitu objek fisik atau karakteristik visual yang memberikan beberapa informasi tentang peristiwa masa lalu. Contohnya berupa bangunan monument, peralatan, pakaian dan sebagainya.

 Meringkas Informasi yang Diperoleh dari Sumber Historis
Langkah ini merupakan proses me-review dan meringkas dari sumber informasi sejarah. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk menentukan relevansi materi utama dengan pertanyaan atau masalah yang diteliti, yang dapat dilakukan dengan rekaman data biografi yang lengkap dari sumber, mengorganisasikan data berdasarkan kategori yang dihubungkan dengan masalah yang diteliti, dan meringkas informasi yang berhubungan fakta, jumlah, dan pertanyaan yang penting).


2) Mengevaluasi Sumber Sejarah
Dalam langkah ini peneliti sejarah harus mengadopsi sikap kritis ke arah beberapa atau seluruh sumber informasi. Dalam mengevaluasi sumber sejarah yang merupakan dokumen atau informasi. Dalam mengevaluasi sumber sejarah terdapat dua kritik yaitu :

• Kritik eksternal
Hal ini berguna untuk menetapkan keaslian atau auntentisitas data, dilakukan kritik eksternal. Apakah fakta peninggalan ata dokumen itu merupakan yang sebenarnya, bukan palsu. Berbagai tes dapat dipergunakan untuk menguji keaslian tersebut. Mislanya untuk menetapkan umumr dokumen melibatkan tanda tangan, tulisan tangan, kertas, cat, bentuk huruf, penggunaan bahasa, dan lain-lain.

• Kritik Internal
Setelah dilakukan suatu dokumen diuji melalui kritik eksternal, berikutnya dilakukan kritik internal. Walaupun dokumen itu asli, tetapi apakah mengukapkan gambaran yang benar? Bagaiaman mengenai penulis dan penciptanya? Apakah ia jujur, adil dan benar-benar memahami faktanya, dan banyak lagi pertanyaan yang bisa muncul seperti diatas. Sejarahwan harus benar-benar yakin bahwa datanya antentik dan kaurat. Hanya jika datanya autentik dan akuratlah sejarawan bisa memandang data tersebut sebagai bukti sejarah yang sangat berharga untuk ditelaah secara serius.

3) Hipotesis Dan Generalisasi Dalam Penelitian Sejarah
Dalam penelitian sejarah dapat juga diajukan hipotesis, meskipun hipotesis tersebut tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Biasanya sejarawan menyimpulkan bukti-buktidan secara cermat menilai kepercayaannya. Jika buktinya ternyata cocok dengan hipotesisnya maka hipotesis tersebut teruji.



4) Penulisan Laporan Penelitian Sejarah
Proses dalam penelitian laporan penelitian sejarah membutuhkan kreativitas, imajinasi kuat, dan multirasio. Laporan tersebut hendaknya ditulis dengan gaya penulisan yang baik dan objektif. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan laporan tersebut dibuat dengan biasa-biasa saja, dan supaya tidak menonton diberi warna pada pernyataannya, yang penting jangan smapai hilang keasliannya. Mengenai format penulisan laporan tidak ada format yang baku, hal ini dapat disesuaikan dengan kepentingan atau persyaratan institusi tertentu.























BAB III
PENUTUP
1. Penelitian Ekspremental
Penelitian dengan melakuakn percobaan terhadap kelompok-kelompok ekspremen. Kepada tiap kelompok ekspremen dikenakan perlakuan-perlakuan tertentu dengan kondisi-kondisi yang dapat dikontrol.
Data sebagai hasil pengaruh perlakuan terhadap kelompok ekspremen diukur secara kuantitatif kemudian dibandingkan. Misalnya, hendak meneliti keefektifan metode-metode mengajar. Penerapan tiap metode dicobakan terhadap kelompok-kelompok coba. Pada akhir percobaan prestasi belajar tiap kelompok dievaluasi.

2. Penelitian Historis
Penelitian ditujukan kepada rekonstruksi masa lampau sistematis dan objektif memahami peristiwa-peristiwa masa lampau itu.
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini sukar dikendalikan. Maka tingkat kepastian pemecahan permasalahan dengan metode ini adalah paling rendah. Data yang dikumpulkan biasanya hasil pengamatan orang lain seperti surat-surat arsip atau dokumen-dokumen masa lalu. Penelitian seperti ini jika ditujukan kepada kehidupan pribadi seseorang, maka penelitian disebut penelitian biografis.

Daftar Temuan