Pelaksanaan madeung dilakukan selama 7 hari berturut-turut, tetapi ada juga yang dilakukan oleh orang-orang tertentu selama empat puluh empat hari berturut-turut (selama masa nifas) yang biasanya selesai ritual madeung ini sang ibu akan melaksanakan “manoe peut ploh peut” atau mandi suci. Selanjutnya dilakukan proses bakar batu toet batee (pemanasan batu). Batu yang telah dipanaskan lalu diangkat dan dibungkus dedaunan tertentu,seperti oen nawah (daun jarak) lalu dibalut kain beberapa lapis hingga panasnya masih dapat dirasakan tetapi tidak menimbulkan bahaya. Gulungan batu tersebut lalu disandarkan pada perut perempuan yang sedang berbaring di balai-balai tersebut, jika batu pertama sudah dingin, maka akan digantikan oleh batu kedua yang dibuat serupa dengan batu pertama, dan begitu juga dengan batu yang ketiga yang dipakai setelah batu kedua dingin terus-menerus secara bergantian, batu dipanaskan di dapur di bawah balai tersebut yang terus menerus berapi, api dari tungku kayu itu tak boleh terlalu besar, maka dari itu apinya perlu dijaga.
Yang bertugas sebagai penjaga dilakukan secara bergantian yaitu orang tua, mertua, dan tetangga atau kerabat. Ini juga adalah sebagai ajang kebersamaan dan mempererat silaturahmi. Sewaktu menjaga, mereka disuguhi makanan berat dan makanan ringan. Di sebuah daerah Aceh yang bernama Takengon, yang terletak di Dataran Tinggi Gayo termasuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tengah, yang bertugas menjaga orang madeung itu adalah suaminya dan orang laki-laki yang masih kerabatnya sendiri. Kebiasaan tersebut bernama “melee-melee.” Mereka begadang semalam suntuk tidak tidur sambil minum-minum kopi dan berdiang di sekitar dipan atau balai tersebut.
Sambil madeung atau salè, orang tua menyediakan ramuan-ramuan yang direbus untuk diminum. Ramuan tersebut harus diminum secara teratur yaitu rempah empat puluh empat artinya rempah-rempah yang berjumlah empat puluh empat macam dan diminum secara teratur minimal selama empat puluh empat hari, jika di pulau Jawa disebut jamu rempah ratus.
Selama empat puluh empat hari menjalani prosesi madeung, makanan yang boleh dimakan hanyalah nasi putih dengan lauk pauk yang diolah secara khusus sehingga bebas lemak, seperti ikan yang direbus bisa juga dipanggang, atau dikukus dan digoreng setengah matang. Yang boleh mereka minum hanyalah air putih saja, makanan dan minuman yang lainnya tidak diperbolehkan sama sekali untuk dikonsumsi, karena menurut mitos orang tua zaman dahulu, mereka berpesan melalui nenek-nenek jika anak atau cucunya kelak bersalin, jangan sekali-kali memakan telur ayam apalagi telur bebek, katanya, bisa berbahaya dan bila dimakan telur akan keluar telur (peranakan). Demikian juga dilarang memakan pisang, karena makanan itu dianggap tajam. Tetapi hal tersebut sangat bertolak belakang jika ditinjau dari segi medis.
Setelah empat puluh empat hari lamanya, barulah diperbolehkan untuk acara turun mandi yang diistilahkan dengan “manoe peut ploh peut” artinya mandi suci atau mandi hadas besar yang dilaksanakan setelah hari ke empat puluh empat, yang biasanya dipandu oleh orang tua atau dukun/bidan gampong atau biasa disebut Ma Blien.
Usai acara mandi wiladah dan mandi nifas setelah suci dari melahirkan atau mandi adat setelah 44 hari, barulah sang ibu diperbolehkan untuk menjejakkan kakinya di atas tanah, karena dianggap telah suci
Pengalaman Rusmiati
Proses Madeung ( salè, toet bate atau bakar batu, dan ramuan tradisional ) ini bisa disebut juga alat KB Tradisional, karena dengan melakukan serangkaian proses Madeung bisa mengatur jarak kelahiran karena pada jaman dahulu belum ada program keluarga berencana (KB) yang modern seperti sekarang ini.
Madeung dan Salè mempunyai beberapa fungsi, yaitu: dapat mengeringkan peranakan, tubuh menjadi singset, dapat mengecilkan perut, dapat mengatur jarak kelahiran, dan mendatangkan aroma harum pada tubuh.
Serangkaian prosesi tersebut saya lakukan 14 tahun yang lalu, ketika kelahiran anak tunggal saya, tetapi manfaatnya masih saya rasakan sampai sekarang. Antara lain, sebagai berikut : badan selalu fit dan tidak mudah lelah, Badan tidak melar/tidak gemuk dan singset, Tidak mudah terserang penyakit, Selalu kelihatan awet muda ( jauh berbeda dengan yang tidak melakukan proses madeung, seperti adik kandung saya yang tidak melakukan proses itu, sekarang dia terlihat menjadi gemuk dan badannya melar, serta mudah lelah dalam mengerjakan suatu pekerjaan )
Serangkaian proses yang saya lakukan sebagai berikut :
1. Melakukan pengasapan (Madeung). Madeung dilakukan pada hari ke 3 setelah mandi pagi hari lebih kurang pukul 10.00 WIB diatas tempat tidur bambu (dipan) selama 7 hari berturut-turut.
Bakar batu (toet batei) yaitu meletakkan batu diatas perut dan menduduki batu yang prosesi bakar batu, dilakukanlah mandi nifas(mandi setelah bersih dari keluarnya darah kotor, biasanya 15 hari setelah persalinan, adakalanya lebih atau kurang,tergantung pada pola makan seseorang). Batu duduk bermanfaat untuk beberapa hal, antara lain: Mengeringkan peranakan, dan juga dapat mencegah dan mengobati wazir/ambient. Sedangkan meletakkan batu di perut berkhasiat untuk mengecilkan perut, disamping itu dipakaikan juga gurita lalu dilapisi lagi dengan kain yang panjangnya beberapa meter, lazim disebut bengkung atau stagen sampai 100 hari lamanya atau tiga bulan sepuluh hari dari masa persalinan.
2. Mengkonsumsi ramuan tradisional, seperti:
a. Campuran: Pati Kunyit, Jeura Hitam yang dihaluskan, Air Asam (Yang diminum pada pagi hari setelah selesai sarapan pagi.)
b. Rebusan air dan daun capa atau daun dadap dengan perbandingan 2:1 setelah matang (jika airnya dua gelas sebelum direbus, maka akan tinggal satu gelas setelah diyang akan datang. Karena betapa nikmatnya merasakan sehat, tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar, bukankah pengobatan secara Salè amat murah dan mudah, tidak membutuhkan tenaga dan biaya yang besar. Jadi pada kesimpulannya, Salè itu dapat juga sebagai terapi bagi orang-orang biasa (sehat) hanya dilakukan sesekali atau tidak setiap hari, demi terwujud kondisi sehat lahir dan batin, bukankah “mencegah itu lebih baik daripada mengobati.(T.A. Sakti)
Yang bertugas sebagai penjaga dilakukan secara bergantian yaitu orang tua, mertua, dan tetangga atau kerabat. Ini juga adalah sebagai ajang kebersamaan dan mempererat silaturahmi. Sewaktu menjaga, mereka disuguhi makanan berat dan makanan ringan. Di sebuah daerah Aceh yang bernama Takengon, yang terletak di Dataran Tinggi Gayo termasuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tengah, yang bertugas menjaga orang madeung itu adalah suaminya dan orang laki-laki yang masih kerabatnya sendiri. Kebiasaan tersebut bernama “melee-melee.” Mereka begadang semalam suntuk tidak tidur sambil minum-minum kopi dan berdiang di sekitar dipan atau balai tersebut.
Sambil madeung atau salè, orang tua menyediakan ramuan-ramuan yang direbus untuk diminum. Ramuan tersebut harus diminum secara teratur yaitu rempah empat puluh empat artinya rempah-rempah yang berjumlah empat puluh empat macam dan diminum secara teratur minimal selama empat puluh empat hari, jika di pulau Jawa disebut jamu rempah ratus.
Selama empat puluh empat hari menjalani prosesi madeung, makanan yang boleh dimakan hanyalah nasi putih dengan lauk pauk yang diolah secara khusus sehingga bebas lemak, seperti ikan yang direbus bisa juga dipanggang, atau dikukus dan digoreng setengah matang. Yang boleh mereka minum hanyalah air putih saja, makanan dan minuman yang lainnya tidak diperbolehkan sama sekali untuk dikonsumsi, karena menurut mitos orang tua zaman dahulu, mereka berpesan melalui nenek-nenek jika anak atau cucunya kelak bersalin, jangan sekali-kali memakan telur ayam apalagi telur bebek, katanya, bisa berbahaya dan bila dimakan telur akan keluar telur (peranakan). Demikian juga dilarang memakan pisang, karena makanan itu dianggap tajam. Tetapi hal tersebut sangat bertolak belakang jika ditinjau dari segi medis.
Setelah empat puluh empat hari lamanya, barulah diperbolehkan untuk acara turun mandi yang diistilahkan dengan “manoe peut ploh peut” artinya mandi suci atau mandi hadas besar yang dilaksanakan setelah hari ke empat puluh empat, yang biasanya dipandu oleh orang tua atau dukun/bidan gampong atau biasa disebut Ma Blien.
Usai acara mandi wiladah dan mandi nifas setelah suci dari melahirkan atau mandi adat setelah 44 hari, barulah sang ibu diperbolehkan untuk menjejakkan kakinya di atas tanah, karena dianggap telah suci
Pengalaman Rusmiati
Proses Madeung ( salè, toet bate atau bakar batu, dan ramuan tradisional ) ini bisa disebut juga alat KB Tradisional, karena dengan melakukan serangkaian proses Madeung bisa mengatur jarak kelahiran karena pada jaman dahulu belum ada program keluarga berencana (KB) yang modern seperti sekarang ini.
Madeung dan Salè mempunyai beberapa fungsi, yaitu: dapat mengeringkan peranakan, tubuh menjadi singset, dapat mengecilkan perut, dapat mengatur jarak kelahiran, dan mendatangkan aroma harum pada tubuh.
Serangkaian prosesi tersebut saya lakukan 14 tahun yang lalu, ketika kelahiran anak tunggal saya, tetapi manfaatnya masih saya rasakan sampai sekarang. Antara lain, sebagai berikut : badan selalu fit dan tidak mudah lelah, Badan tidak melar/tidak gemuk dan singset, Tidak mudah terserang penyakit, Selalu kelihatan awet muda ( jauh berbeda dengan yang tidak melakukan proses madeung, seperti adik kandung saya yang tidak melakukan proses itu, sekarang dia terlihat menjadi gemuk dan badannya melar, serta mudah lelah dalam mengerjakan suatu pekerjaan )
Serangkaian proses yang saya lakukan sebagai berikut :
1. Melakukan pengasapan (Madeung). Madeung dilakukan pada hari ke 3 setelah mandi pagi hari lebih kurang pukul 10.00 WIB diatas tempat tidur bambu (dipan) selama 7 hari berturut-turut.
Bakar batu (toet batei) yaitu meletakkan batu diatas perut dan menduduki batu yang prosesi bakar batu, dilakukanlah mandi nifas(mandi setelah bersih dari keluarnya darah kotor, biasanya 15 hari setelah persalinan, adakalanya lebih atau kurang,tergantung pada pola makan seseorang). Batu duduk bermanfaat untuk beberapa hal, antara lain: Mengeringkan peranakan, dan juga dapat mencegah dan mengobati wazir/ambient. Sedangkan meletakkan batu di perut berkhasiat untuk mengecilkan perut, disamping itu dipakaikan juga gurita lalu dilapisi lagi dengan kain yang panjangnya beberapa meter, lazim disebut bengkung atau stagen sampai 100 hari lamanya atau tiga bulan sepuluh hari dari masa persalinan.
2. Mengkonsumsi ramuan tradisional, seperti:
a. Campuran: Pati Kunyit, Jeura Hitam yang dihaluskan, Air Asam (Yang diminum pada pagi hari setelah selesai sarapan pagi.)
b. Rebusan air dan daun capa atau daun dadap dengan perbandingan 2:1 setelah matang (jika airnya dua gelas sebelum direbus, maka akan tinggal satu gelas setelah diyang akan datang. Karena betapa nikmatnya merasakan sehat, tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar, bukankah pengobatan secara Salè amat murah dan mudah, tidak membutuhkan tenaga dan biaya yang besar. Jadi pada kesimpulannya, Salè itu dapat juga sebagai terapi bagi orang-orang biasa (sehat) hanya dilakukan sesekali atau tidak setiap hari, demi terwujud kondisi sehat lahir dan batin, bukankah “mencegah itu lebih baik daripada mengobati.(T.A. Sakti)
Sumber : Website Unsyiah
Salam Kenal,,
ReplyDeleteyayaaa....
Semoga anda dapat mencari info atau tulisan y lebih bagus lgi,,,:)
atau labih baik lagi apabila mahasiswa dapat menulisnya sendiri...
lunturnya budaya bukan krn orang tua y tidak menceritakannya,,, namun karena pemuda seperti kita y masih sangat kurang keingin tahuannya terhadap budayanya sendiri...
Murdani..
salam Kenal juga buat Sodara qu Murdani,,,
ReplyDeleteya,, Terimakasih atas sarannya,,
Saya sepakat dengan apa yang sodara katakan,, bukan orang tua y tidak mencertakan, namun kurangnya keingintahuan kita terhadap budaya kita sendiri...:)