Friday, November 25, 2011

Model-Model Konseling

1.                   Terapi Tingkah Laku Menurut Marquis
Terapi tingkah laku adalah suatu teknik yang menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan masalah manusia. Jadi tingkah laku berfokus pada bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.
Istilah terapi tingkah laku atau konseling behavioristik berasal dari bahasa Inggris Behavior Counseling yang untuk pertama kali digunakan oleh Jhon D. Krumboln (1964). Krumboln adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap konseli, meskipun dia melanjutkan aliran yang sudah dimulai sejak tahun 1950, sebagai reaksi terhadap corak konseling yang memandang hubungan antar pribadi, antara konselor dan konseli sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang.
Aliran baru ini menekankan bahwa hubungan antar pribadi itu tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan nyata dalam prilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah. Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui suatu proses belajar atau belajar kembali yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu proses konseling dipandang sebagai suatu proses pendidikan yang terpusat pada usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru, dan dengan demikian mengatasi berbagai macam masalah.
Perhatian difokuskan pada perilaku-perilaku tertentu untuk dapat diamati, yang selama proses konseling melalui prosedur-prosedur dan teknik-teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas. Jadi perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan karena itu dapat diubah dengan belajar baru. Dengan demikian, proses konseling pada dasarnya sebagai suatu proses belajar.

Ciri-ciri Terapi Tingkah Laku.
Adapun ciri-ciri terapi tingkah laku itu sendiri adalah :
1.                  Pemusatan perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
2.                  Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
3.                  Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah
4.                  Penaksiran obyektif atau hasil-hasil terapi.

Tujuan Terapi Tingkah Laku.
Sedangkan tujuan dari terapi tingkah laku itu adalah menciptakan proses baru bagi proses belajar, karena segenap tingkah laku adalah dipelajari.
Ada beberapa kesalahpahaman tentang tujuan terapi tingkah laku, antara lain :
1.                  Bahwa tujuan terapi semata-mata menghilangkan gejala suatu gangguan tingkah laku dan setelah gejala itu terhapus, gejala baru akan muncul karena penyebabnya tidak ditangani.
2.                  Tujuan Konseli ditentukan dan dipaksakan oleh terapi tingkah laku.

Teknik-teknik Terapi Tingkah Laku
teknik Terapi Tingkah Laku Ada lima macam teknik terapi tingkah laku, yaitu :
1.                  Desensitisasi Sistematik Teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapus.
2.                  Teknik Inflosif dan Pembanjiran Teknik ini berlandasakan kepada paradigma penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus dalam kondisi berulang-ulang tanpa memberikan penguatan.
3.                  Latihan Asertif Teknik ini diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan menerima kenyataan bahwa menegaskan diri adalah tindakan yang layak benar. Latihan atau teknik ini membantu orang yang Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung - Memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak - Dan bentuk lainnya.
4.                  Teknik Aversi Teknik ini digunakan untuk meredakan gangguan behavioral yang spesifik dengan stimulus yang menyakitkan sampai stimulus yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi ini biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang memualkan.
5.                  Pengkondisian Operan Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang mencari ciri organisme yang aktif, yang beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat.

Kegunaan Terapi Tingkah Laku
Terapi tigkah laku dapat digunakan dalam menyembuhkan berbagai gangguan tingkah laku dari yang sederhana hingga yang kompleks, baik individu atau kelompok. Di samping itu terapi tingkah laku dapat dilaksanakan oleh guru, pelatih, orang tua atau Konseli  itu sendiri. Selamat mencoba Sumber : Supriadi (Designer & Webmaster)



2.       Konseling centred Teraphy
Kemajuan berpikir dan kesadaran manusia akan diri dan dunianya, telah mendorong terjadinya globalisasi. Situasi global membuat kehidupan semakin kompetitif dan membuka peluang bagi manusia untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Dampak positif dari kondisi global telah mendorong manusia untuk terus berfikir, meningkatkan kemampuan, dan tidak puas terhadap apa yang dicapainya pada saat ini. Adapun dampak negatif dari globalisasi tersebut adalah (1) keresahan hidup di kalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stress, kecemasan, dan frustasi; (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, dan korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat serta benar-salah secara lugas; (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis, tetapi juga konflik fisik; dan (4) pelarian dari masalah melalui jalan pintas yang bersifat sementara juga adiktif, seperi penggunaan obat-obat terlarang.
Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-cendered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutkannya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-cendered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikutnya dunia subjektif dan fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client-centered manaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien unyuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat unuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya.

Ciri-ciri Pendekatan Client-Centered
I.            Difokuskan pada tanggungjawab dan kesanggupan seseorang untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Sebagai orang yang paling mengetahui diri sendiri, maka orang tersebut yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
II.            Menekankan dunia fenomenal seseorang/klien. Dengan empati yang cermat dan denga usaha memahami kerangka acuan internal seseorang, terapis memberikan perhatian terutama pada persepsi-diri klien dan persepsinya terhadap dunia.
III.            Prinsip-prinsip terapi client person direapkan pada individu yang fungsi psikologisnya berada pada taraf yang relative normal maupun pada individu yang derajat penyimpangan psikologisnya lebih besar.
IV.            Menurut pendekatan ini juga, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien akan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Itu adalah hubungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien.

Penerapan: Teknik-teknik dan Prosedur-prosedur
Perkembangan pendekatan client-centered disertai oleh peralihan dari penekanan pada teknik-teknik terapeutik kepada penekanan pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis, serta pada hubungan terapeutik. Dalam kerangka client-centered, teknik-tekniknyaadalah pengungkapan dan pengomunikasian penerimaan, respek, dan pengertian, serta berbagi upaya dengan klien dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi.
Menurut pandangan pendekatan client-centered, penggunaan teknik-teknik sebagai muslihat terapis akan mendepersonalisasi hubungan terapis klien. Teknik-teknik harus menjadi suatu pengungkapan yang jujur dari terapis, dan tidak bisa digunakan secara sadar diri sebab dengan demikian, terapis tidak akan menjadi sejati.

Tujuan Terapi Client Centered
a. Keterbukaan pada Pengalaman
Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.
b. Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun muali timbul.
c. Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.

d. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.

3.       Teraphy Ekstensial
Pada dasarnya terapi eksistensial memiliki tujuan untuk meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. (Gerald Corey, 1988)
Terapi eksistensial juga bertujuan membantu klien menghadapi kecemasan sehubungan dengan pemilihan nilai dan kesadaran bahwa dirinya bukan hanya sekedar korban kekuatan-kekuatan determinisik dari luar dirinya. Terapi eksistensial memiliki cirinya sendiri oleh karena pemahamannya bahwa tugas manusia adalah menciptakan eksistensinya yang bercirikan integritas dan makna.
Fungsi dan Peran Terapis
Tugas utama dari seorang terapis adalah berusaha memahami keberadaan klien dalam dunia yang dimilikinya. May (1961), memandang bahwa tugas terapis diantaranya adalah membantu klien agar menyadari keberadaanya dalam dunia: “Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subyek yang memiliki dunia”. Frankl (1959), menjabarkan peran terapis sebagai ”spesialis mata ketimbang pelukis”, yang bertugas memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien.
Penerapan Teknik dan Prosedur Terapeutik
Pendekatan eksistensial pada dasarnya tidak memiliki perangkat teknis yang siap pakai seperti kebanyakan pendekatan lainya. Pendekatan ini bisa menggunakan beberapa teknik dan konsep psikoanalitik, juga bisa menggunakan teknik kognitif-behavioral. Metode yang berasal dari Gestalt dan analis Transaksional pun sering digunakan. Akan tetapi pada intinya, teknik dari pendekatan ini adalah penggunaan kemampuan dari pribadi terapis itu sendiri.
Pada saat terapis menemukan keseluruhan dari diri klien, maka saat itulah proses terapeutik berada pada saat yang terbaik. Penemuan kreatifitas diri terapis muncul dari ikatan saling percaya dan kerjasama yang bermakna dari klien dan terapis.
Proses konseling oleh para eksistensial meliputi tiga tahap. Dalam tahap pendahuluan, konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal pencitpaan masalah dalam kehidupan mereka.
Pada tahap pertengahan, klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari system mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
Tahap Terakhir berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya.

4.       konseling rational emotif,

Konseling Rational Emotif pencetusya Albert Ellis menggambarkan bahwa manusia itu dapat dipandang dari cara berpikir yang rasional maupun irrasional di dalam merespon suatu obyek di luar dirinya. Individu yang mengalami gangguan adalah yang memikirkan sesuatu hal yang keyakinannya tidak mantap dan menempatkan keyakinan itu pada sisi di luar kewajaran. Menurut Ellis terapi terhadap manusia berkeyakinan irrasional menjadi rasional. Tidak berbeda dengan terapi diagnetik yang memandang individu bermasalah itu dari pikiran kreatif yang beroperasi di bawah kesadaran akibat dari pangalaman traumatis yang dialami. L. Ron Hubb Ard juga menginformasikan bahwa kekuatan pikiran reaktif mampu untuk menggeser pikiran analitik. Perlakuan terhadap orang yang mengalami gangguan dilakukan dengan cara membawa klien ke alam masa lalu, mengingat peristiwa traumatis kemudian diganti dengan pengalaman menyenangkan di masa kini. Hal ini mirip dengan metode asosiasi bebas.

Konseling dalam praktiknya terdiri dari tiga bagian, yaitu

Pertama bagian awal yang berisi pembukaan, perkenalan, serta pertanyaan-pertanyaan ringan, sapaan yang bernuansa pendekatan antara pembimbing dan binimbing. Dalam fase awal ini pembimbing memperhatikan apa saja yang tampak dari perilaku klien, baik dalam bentuk bahasa maupun gerak pikir sebagai bahasa isyarat yang harus dipahami. Pembimbing juga melihat seperti apa keadaan kontak mata pada binimbing, seperti apa pula perasaannya, dan bagaimana ia berkata-kata. Semua ini dalam penjelasan Darsana (2005) disebut sebagai teknologi konseling.

Kedua, merupakan prosesi lanjutan, dalam tahap tengah pembingbing membantu binimbing untuk memahami masalahnya secara jelas juga memberikan pilihan sesuai dengan kemampuan klien mendorong untuk dapat membuat keputusan, mencari cara dalam pencarian masalahnya, dan memberikan semangat bahwa ia dapat berbuat baik bagi dirinya sendiri. Ada pula pendapat yang mengatakan pada tahap tengah inilah klien maupun orang dibantu sedapat mungkin segera menyadari perilaku apa saja yang telah diperbuat sehingga menimbulkan dampak bagi dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Dalam keadaan tidak dapat melakukan sesuatu hal, konselor dapat memberikan terapi maupun bantuan yang sejenis agar binimbing dapat mengenang kejadian-kejadian masa lalu. Kegiatan seperti ini sering pula disebut dengan eksplorasi diri.

Ketiga, adalah tahapan akhir yang menggambarkan keadaan diri binimbing, apakah terentaskan dari kesulitan yang dihadapi atau tidak. Praktisi maupun para pembimbing menyebut sebagai tahap evaluasi dari layanan yang diberikan. Penilaian dalam bimbingan dan konseling dilakukan secara komprehensif dan diarahkan kepada evalu asi dan proses hasil. Evaluasi dalam proses adalah memonitor jalannya selama proses bantuan berlangsung, adakah hambatannya, apakah binimbing dapat mengikuti proses, dan respon-respon apa saja yang yang tampak dalam proses. Evaluasi hasil adalah melihat hasil yang diperoleh binimbing, adakah dirinya merasakan perubahan setelah menerima terapi konseling. Hasil lainnya pada klien yaitu dapat membuat keputusan bagi dirinya sendiri maupun ia dapat membuat pilihan yang tepat. Di sisi lain terdapat pula hasil negatif yang muncul berupa kepasifan pada diri binimbing. Pada waktu bersamaan pembimbing juga mendapatkan hasil dari apa yang telah dikerjakan sebagai refleksi diri. Tidak hanya dalam kawasan bimbingan konseling, pada bantuan alternatif metode lainnya hasil akhir ini juga diungkap melalui pernyataan orang yang dibantu. Misalnya, “Saya merasa menjadi lebih baik”, “Rasa pusing yang saya alami sudah berkurang”, “Apa Anda sudah dapat menentukan pasangan hidup?”. Dengan melihat hasil akhir praktisi dalam layanan terapi maupun bimbingan juga akan menentukan apakah bantuan dilanjutkan dengan cara lainnya atau akan mengikutsertakan binimbing dalam kegiatan terapi berikutnya.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas Komentar yang anda berikan,,
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kami penulis atau pengelola agar lebih baik...

( Maaf Komentar yang berisikan kata tidak senonoh/tidak sopan/mengandung unsur sara tidak dapat kami tampilkan)

Daftar Temuan