1.
Terapi Tingkah Laku Menurut Marquis
Terapi tingkah laku adalah suatu
teknik yang menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan
masalah manusia. Jadi tingkah laku berfokus pada bagaimana orang-orang belajar
dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.
Istilah terapi tingkah laku atau
konseling behavioristik berasal dari bahasa Inggris Behavior Counseling yang
untuk pertama kali digunakan oleh Jhon D. Krumboln (1964). Krumboln adalah
promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap konseli,
meskipun dia melanjutkan aliran yang sudah dimulai sejak tahun 1950, sebagai
reaksi terhadap corak konseling yang memandang hubungan antar pribadi, antara
konselor dan konseli sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus
cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang.
Aliran baru ini menekankan bahwa
hubungan antar pribadi itu tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan
perubahan nyata dalam prilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah.
Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui suatu proses belajar atau
belajar kembali yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu
proses konseling dipandang sebagai suatu proses pendidikan yang terpusat pada
usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru, dan dengan
demikian mengatasi berbagai macam masalah.
Perhatian difokuskan pada
perilaku-perilaku tertentu untuk dapat diamati, yang selama proses konseling
melalui prosedur-prosedur dan teknik-teknik tertentu akhirnya menghasilkan
perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas. Jadi perilaku
manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan karena itu dapat diubah dengan
belajar baru. Dengan demikian, proses konseling pada dasarnya sebagai suatu
proses belajar.
Ciri-ciri
Terapi Tingkah Laku.
Adapun ciri-ciri terapi tingkah laku
itu sendiri adalah :
1.
Pemusatan
perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
2.
Kecermatan
dan penguraian tujuan-tujuan treatment
3.
Perumusan
prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah
4.
Penaksiran
obyektif atau hasil-hasil terapi.
Tujuan Terapi Tingkah Laku.
Sedangkan tujuan dari terapi tingkah
laku itu adalah menciptakan proses baru
bagi proses belajar, karena segenap tingkah laku adalah dipelajari.
Ada beberapa kesalahpahaman tentang
tujuan terapi tingkah laku, antara lain :
1.
Bahwa
tujuan terapi semata-mata menghilangkan gejala suatu gangguan tingkah laku dan
setelah gejala itu terhapus, gejala baru akan muncul karena penyebabnya tidak
ditangani.
2.
Tujuan
Konseli ditentukan dan dipaksakan oleh terapi tingkah laku.
Teknik-teknik
Terapi Tingkah Laku
teknik Terapi Tingkah Laku Ada lima
macam teknik terapi tingkah laku, yaitu :
1.
Desensitisasi Sistematik Teknik ini digunakan untuk
menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan
tingkah laku yang hendak dihapus.
2.
Teknik Inflosif dan Pembanjiran Teknik ini berlandasakan kepada paradigma
penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus dalam
kondisi berulang-ulang tanpa memberikan penguatan.
3.
Latihan Asertif Teknik ini diterapkan pada individu
yang mengalami kesulitan menerima kenyataan bahwa menegaskan diri adalah
tindakan yang layak benar. Latihan atau teknik ini membantu orang yang Tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung - Memiliki kesulitan
untuk mengatakan tidak - Dan bentuk lainnya.
4.
Teknik Aversi Teknik ini digunakan untuk
meredakan gangguan behavioral yang spesifik dengan stimulus yang menyakitkan
sampai stimulus yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi
ini biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang
memualkan.
5.
Pengkondisian Operan Tingkah laku operan adalah tingkah
laku yang memancar yang mencari ciri organisme yang aktif, yang beroperasi di
lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat.
Kegunaan
Terapi Tingkah Laku
Terapi tigkah laku dapat digunakan
dalam menyembuhkan berbagai gangguan tingkah laku dari yang sederhana hingga
yang kompleks, baik individu atau kelompok. Di samping itu terapi tingkah laku
dapat dilaksanakan oleh guru, pelatih, orang tua atau Konseli itu sendiri. Selamat mencoba Sumber : Supriadi (Designer & Webmaster)
2.
Konseling centred Teraphy
Kemajuan berpikir dan kesadaran
manusia akan diri dan dunianya, telah mendorong terjadinya globalisasi. Situasi
global membuat kehidupan semakin kompetitif dan membuka peluang bagi manusia
untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Dampak positif
dari kondisi global telah mendorong manusia untuk terus berfikir, meningkatkan
kemampuan, dan tidak puas terhadap apa yang dicapainya pada saat ini. Adapun
dampak negatif dari globalisasi tersebut adalah (1) keresahan hidup di kalangan
masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stress, kecemasan,
dan frustasi; (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, dan
korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat serta benar-salah secara
lugas; (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja
konflik psikis, tetapi juga konflik fisik; dan (4) pelarian dari masalah
melalui jalan pintas yang bersifat sementara juga adiktif, seperi penggunaan
obat-obat terlarang.
Carl R. Rogers mengembangkan terapi
client-cendered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutkannya
keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya,
pendekatan client-cendered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang
menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikutnya dunia subjektif dan
fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi
kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan
kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan
client-centered manaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien unyuk
mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik
antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien
menggunakan hubungan yang unik sebagai alat unuk meningkatkan kesadaran dan
untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif
dalam pengubahan hidupnya.
Ciri-ciri Pendekatan Client-Centered
I.
Difokuskan
pada tanggungjawab dan kesanggupan seseorang untuk menemukan cara-cara
menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Sebagai orang yang paling mengetahui
diri sendiri, maka orang tersebut yang harus menemukan tingkah laku yang lebih
pantas bagi dirinya.
II.
Menekankan
dunia fenomenal seseorang/klien. Dengan empati yang cermat dan denga usaha
memahami kerangka acuan internal seseorang, terapis memberikan perhatian
terutama pada persepsi-diri klien dan persepsinya terhadap dunia.
III.
Prinsip-prinsip
terapi client person direapkan pada individu yang fungsi psikologisnya berada
pada taraf yang relative normal maupun pada individu yang derajat penyimpangan
psikologisnya lebih besar.
IV.
Menurut
pendekatan ini juga, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan
pribadi yang konstruktif. Klien akan melalui hubungannya dengan seseorang yang
membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Itu adalah
hubungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi
eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima
dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien.
Penerapan: Teknik-teknik dan
Prosedur-prosedur
Perkembangan pendekatan
client-centered disertai oleh peralihan dari penekanan pada teknik-teknik
terapeutik kepada penekanan pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan
sikap-sikap terapis, serta pada hubungan terapeutik. Dalam kerangka
client-centered, teknik-tekniknyaadalah pengungkapan dan pengomunikasian
penerimaan, respek, dan pengertian, serta berbagi upaya dengan klien dalam
mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan
mengeksplorasi.
Menurut pandangan pendekatan
client-centered, penggunaan teknik-teknik sebagai muslihat terapis akan
mendepersonalisasi hubungan terapis klien. Teknik-teknik harus menjadi suatu
pengungkapan yang jujur dari terapis, dan tidak bisa digunakan secara sadar
diri sebab dengan demikian, terapis tidak akan menjadi sejati.
Tujuan
Terapi Client Centered
a.
Keterbukaan pada Pengalaman
Sebagai
lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih
sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.
b.
Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah
satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap
diri sendiri. Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap
pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun
muali timbul.
c.
Tempat Evaluasi Internal
Tempat
evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih
banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah
keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada
mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan
universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia
menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri
dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d.
Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.
Konsep
tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri sebagai
produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis
formula guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi
sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien
dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan
kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru,
bahkan beberapa revisi.
3.
Teraphy
Ekstensial
Pada
dasarnya terapi eksistensial memiliki tujuan untuk meluaskan kesadaran diri
klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni bebas dan
bertanggung jawab atas arah hidupnya. (Gerald Corey, 1988)
Terapi
eksistensial juga bertujuan membantu klien menghadapi kecemasan sehubungan
dengan pemilihan nilai dan kesadaran bahwa dirinya bukan hanya sekedar korban
kekuatan-kekuatan determinisik dari luar dirinya. Terapi eksistensial memiliki
cirinya sendiri oleh karena pemahamannya bahwa tugas manusia adalah menciptakan
eksistensinya yang bercirikan integritas dan makna.
Fungsi
dan Peran Terapis
Tugas
utama dari seorang terapis adalah berusaha memahami keberadaan klien dalam
dunia yang dimilikinya. May (1961), memandang bahwa tugas terapis diantaranya
adalah membantu klien agar menyadari keberadaanya dalam dunia: “Ini adalah saat
ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia
yang mengancam dan sebagai subyek yang memiliki dunia”. Frankl (1959),
menjabarkan peran terapis sebagai ”spesialis mata ketimbang pelukis”, yang bertugas
memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien.
Penerapan
Teknik dan Prosedur Terapeutik
Pendekatan
eksistensial pada dasarnya tidak memiliki perangkat teknis yang siap pakai
seperti kebanyakan pendekatan lainya. Pendekatan ini bisa menggunakan beberapa
teknik dan konsep psikoanalitik, juga bisa menggunakan teknik
kognitif-behavioral. Metode yang berasal dari Gestalt dan analis Transaksional
pun sering digunakan. Akan tetapi pada intinya, teknik dari pendekatan ini
adalah penggunaan kemampuan dari pribadi terapis itu sendiri.
Pada
saat terapis menemukan keseluruhan dari diri klien, maka saat itulah proses
terapeutik berada pada saat yang terbaik. Penemuan kreatifitas diri terapis
muncul dari ikatan saling percaya dan kerjasama yang bermakna dari klien dan
terapis.
Proses
konseling oleh para eksistensial meliputi tiga tahap. Dalam tahap pendahuluan,
konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi
mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi
mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka
dan meneliti peran mereka dalam hal pencitpaan masalah dalam kehidupan mereka.
Pada
tahap pertengahan, klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti
sumber dan otoritas dari system mereka. Semangat ini akan memberikan klien
pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
Tahap
Terakhir berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari
tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan
jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani
eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial,
teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka,
serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya.
4. konseling
rational emotif,
Konseling Rational Emotif pencetusya Albert Ellis
menggambarkan bahwa manusia itu dapat dipandang dari cara berpikir yang
rasional maupun irrasional di dalam merespon suatu obyek di luar dirinya.
Individu yang mengalami gangguan adalah yang memikirkan sesuatu hal yang
keyakinannya tidak mantap dan menempatkan keyakinan itu pada sisi di luar
kewajaran. Menurut Ellis terapi terhadap manusia berkeyakinan irrasional
menjadi rasional. Tidak berbeda dengan terapi diagnetik yang memandang individu
bermasalah itu dari pikiran kreatif yang beroperasi di bawah kesadaran akibat
dari pangalaman traumatis yang dialami. L. Ron Hubb Ard juga
menginformasikan bahwa kekuatan pikiran reaktif mampu untuk menggeser pikiran
analitik. Perlakuan terhadap orang yang mengalami gangguan dilakukan dengan
cara membawa klien ke alam masa lalu, mengingat peristiwa traumatis kemudian
diganti dengan pengalaman menyenangkan di masa kini. Hal ini mirip dengan
metode asosiasi bebas.
Konseling dalam praktiknya terdiri
dari tiga bagian, yaitu
Pertama bagian awal yang berisi pembukaan,
perkenalan, serta pertanyaan-pertanyaan ringan, sapaan yang bernuansa
pendekatan antara pembimbing dan binimbing. Dalam fase awal ini pembimbing
memperhatikan apa saja yang tampak dari perilaku klien, baik dalam bentuk
bahasa maupun gerak pikir sebagai bahasa isyarat yang harus dipahami.
Pembimbing juga melihat seperti apa keadaan kontak mata pada binimbing, seperti
apa pula perasaannya, dan bagaimana ia berkata-kata. Semua ini dalam penjelasan
Darsana (2005) disebut sebagai teknologi konseling.
Kedua, merupakan prosesi lanjutan, dalam
tahap tengah pembingbing membantu binimbing untuk memahami masalahnya secara
jelas juga memberikan pilihan sesuai dengan kemampuan klien mendorong untuk
dapat membuat keputusan, mencari cara dalam pencarian masalahnya, dan
memberikan semangat bahwa ia dapat berbuat baik bagi dirinya sendiri. Ada pula
pendapat yang mengatakan pada tahap tengah inilah klien maupun orang dibantu
sedapat mungkin segera menyadari perilaku apa saja yang telah diperbuat
sehingga menimbulkan dampak bagi dirinya sendiri maupun orang lain di
sekitarnya. Dalam keadaan tidak dapat melakukan sesuatu hal, konselor dapat
memberikan terapi maupun bantuan yang sejenis agar binimbing dapat mengenang
kejadian-kejadian masa lalu. Kegiatan seperti ini sering pula disebut dengan
eksplorasi diri.
Ketiga, adalah tahapan akhir yang
menggambarkan keadaan diri binimbing, apakah terentaskan dari kesulitan yang
dihadapi atau tidak. Praktisi maupun para pembimbing menyebut sebagai tahap
evaluasi dari layanan yang diberikan. Penilaian dalam bimbingan dan konseling
dilakukan secara komprehensif dan diarahkan kepada evalu asi dan proses hasil.
Evaluasi dalam proses adalah memonitor jalannya selama proses bantuan
berlangsung, adakah hambatannya, apakah binimbing dapat mengikuti proses, dan
respon-respon apa saja yang yang tampak dalam proses. Evaluasi hasil adalah
melihat hasil yang diperoleh binimbing, adakah dirinya merasakan perubahan
setelah menerima terapi konseling. Hasil lainnya pada klien yaitu dapat membuat
keputusan bagi dirinya sendiri maupun ia dapat membuat pilihan yang tepat. Di
sisi lain terdapat pula hasil negatif yang muncul berupa kepasifan pada diri
binimbing. Pada waktu bersamaan pembimbing juga mendapatkan hasil dari apa yang
telah dikerjakan sebagai refleksi diri. Tidak hanya dalam kawasan bimbingan
konseling, pada bantuan alternatif metode lainnya hasil akhir ini juga diungkap
melalui pernyataan orang yang dibantu. Misalnya, “Saya merasa menjadi
lebih baik”, “Rasa pusing yang saya alami sudah
berkurang”, “Apa Anda sudah dapat menentukan pasangan
hidup?”. Dengan melihat hasil akhir praktisi dalam layanan terapi
maupun bimbingan juga akan menentukan apakah bantuan dilanjutkan dengan cara lainnya
atau akan mengikutsertakan binimbing dalam kegiatan terapi berikutnya.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas Komentar yang anda berikan,,
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kami penulis atau pengelola agar lebih baik...
( Maaf Komentar yang berisikan kata tidak senonoh/tidak sopan/mengandung unsur sara tidak dapat kami tampilkan)