NEGERI ini baru saja memperingati Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli 2009, namun sejumlah anak kembali menerima perlakuan tidak wajar dari orang dewasa. Kasus terakhir yang sempat diliput media massa menimpa dua orang pelajar di Aceh yang dipukuli guru mereka Padahal agama apapun, menganggap bahwa anak sebagai bakal manusia dewasa adalah amanah Tuhan kepada ibu dan ayah kandungnya.
Islam menegaskan seperti sabda Nabi saw, “anak tercipta dalam keadaan suci (fitrah)”. Ironinya kenapa orang-orang dewasa justru menistakannya. Sejatinya, anak-anak harus disambut dan didoakan. Sebagaimana Nabi Ibrahim as ketika merindui kehadiran seorang anak di sisinya. Hal itu direkam dalam Alquran; “Ya Tuhan, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (Ali Imram: 38).
Anak pewaris generasi. Ini menjadi harapan setiap pasangan (sumai isteri) yang ingin segera dikarunia Allah anak-anak yang shalih, sebagai permata hati (qurratun a‘yun). Bagi mereka yang belum dikarunia anak, menempu dengan segala cara agar. Namun sering pula ketika seorang anak yang didamba hadir, banyak orangtua menyianyiakan, tidak mau mengerti dunia anak, pendidikan anak-anak mereka. Bahkan anak-anak dianggap miniatur manusia dewasa yang disamaratakan dengan dirinya. Maka anak-anak tumbh berkembangan apa adanya tanpa perhatian dari orangtua dan orang dewasa, bahkan hak-hak anak sering dianiaya hanya untuk kepentingan orangtua dan orang dewasa.
Itulah kesalahan terbesar orangtua terhadap anak-anaknya, Seperti ditulis Muhammad Rasyid Dimas, pakar islamic parenting dalam bukunya Siyasat Tarbawiyyah Khathiah. “...kesalahan besar dan keliru ketika orangtua berpersepsi bahwa yang dimaksud mencintai dan menyayangi anak adalah dengan memenuhi segala kebutuhan fisik anak, baik itu hadiah, pakaian dan makanan yang bernutrisi tinggi ataupun sejenisnya. Banyak orangtua tidak menyadari bahwa cinta dan kasih sayang yang sangat vital bagi kebutuhan anak adalah perhatian, keperdulian dan pengertian dari orangtua kepada anak. Termasuk menjaga perasaan atau emosi anak.
Menurut Dimas, membiarkan anak diasuh, dirawat dan dibesarkan pembantu sebagai tindakan orangtua yang tak tahu menjaga perasaan anak. Yang pertama dibutuhkan anak dari orang tuanya adalah kepastian yang meyakinkan bahwa ia dicintai sepenuh hati, terlebih pada saat-saat khusus. Seorang anak sewajarnya mendapat jaminan bahwa apapun yang bakal terjadi kasih sayang orangtua dan keluarganya tidak akan berubah. Sentuhan fisik dan dan kedekatan hati antara anak dan orangtua adalah bukti keakraban mereka. Ini penting untuk pertumbuhan kepribadian anak yang sempurna.
Untuk memenuhi kualifikasi semacam ini, pengkondisian keluarga seharmonis mungkin merupakan langkah penting yang mesti diupayakan oleh orang tua. Memperkuat pandangannya, Dimas mengutip sebuah hadits Nabi; “Bukan termasuk umatku orang-orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta tidak mengetahui hak-hak orang lain di sekelilingnya” (HR. Ahmad).
Kekerasan terhadap anak
Ironi jika saat ini kekerasan terhadap anak-anak masih terjadi, apalagi di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi teladan. Lembaga pendidikan sejatinya menjadi tempat anak-anal dididik dan dibenahi kemanusiaannya. Orang-orang dewasa, bahkan mereka yang mengambil profesi guru terus saja melakukan kekerasan terhadap anak-anak. Minimal di antara masalah yang menjadikan anak-anak sebagai korban adalah, akibat tidak adanya perhatian orangtua. Ini kesalahan paling abstrak yang tidak disadari saat ini. Orangtua hanya pandai beranak, tapi tak bisa mendidiknya. Fenomena ini terbaca dari perlakuan kebanyakan orangtua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang cenderung abai. Sikap semacam ini kelihatan amat sepele dan jarang dipersoalkan oleh para pemerhati anak di negeri ini. Para aktivis anak pun hanya memfokuskan kegiatan mereka pada upaya advokasi terhadap kekerasan fisik yang diderita anak. Sementara masalah alienasi orangtua di rumah tidak terbaca atau mungkin berada di luar wilayah wewenang panggilan moral mereka.
Alienasi anak
Alienasi anak bukan mengasingkan anak dari keluarga untuk dibawa ke panti asuhan, misalnya. Anak bisa saja mengalami alienasi dari perhatian kedua orang tuanya meski ia berada serumah. Kebanyakan orangtua tidak menyediakan banyak waktu bersama anak. Jangankan mengikuti perkembangan mereka, berbicara bersama anak saja terkadang tidak sempat sama sekali. Apalagi mendengar dan menikmati kicauan mereka yang sedang menuju tahap demi tahap pertumbuhan dan perkemkembang itu. Padahal mereka sangat membutuh kehadiran kedua orangtuanya untuk saling berbagi perhatian dan kasih sayang.
Bercerita bersama secara terbuka sambil membimbing ruhani mereka yang sedang kehausan, menanam benih-benih cinta dan harapan masa depan dalam batas-batas yang proporsional, serta memberi ketegasan moral, etika dan budaya yang positif bagi pergaulannya kelak. Orang tua adalah figur utama bagi anak. Anak selalu ingin bercermin pada kedua orang tuanya. Mengidolakan kedua orang tua adalah bunga mimpi bagi semua anak. Tetapi amat disayangkan, kebanyakan orang tua tidak memahami apa yang anak mereka paling butuhkan itu. Orangtua salah persepsi, mereka mengira bahwa anak hanya butuh materi dan fasilitas dari mereka. Sementara perlindungan, sahabat tempat curhat mereka temukan dari orang-orang yang belum pantas dan berhak. Sehingga figur ayah digantikan oleh teman lawan jenis melalui jalinan hubungan pacaran yang membayakan masa depannya.
Tidak heran, anak merasa asing di dalam keluarganya sendiri. Anak akan menjadi makhluk liar di hadapan kedua orangtuanya. Pilihan anak adalah menghindar dan menjauh dari hadapan orang tua. Orang tua tidak lagi menjadi sahabat yang akrab bagi anak, tempat curhat yang menyenangkan dan penuh keakraban. Anak melihat orangtua ibarat melihat makhluk asing dari ruang angkasa (alien) yang tinggal serumah dengannya. Bagaimana komunikasi bisa berlangsung antara anak dan orang tua dalam hubungan semacam ini. Reaksi menutup diri seorang anak dari orang tuanya merupakan sikap reaktif anak dari perlakuan orang tua terhadapnya. Kebanyakan orangtua salah dalam menilai bahwa anak tidak lebih bagaikan hewan piaraan (home pets) yang hanya cukup diberi makan dan minum. Hewan dan tumbuhan saja tidak ingin diperlakukan demikian, konon lagi anak manusia. Bagaimana tidak dikatakan demikian, anak cendrung hanya dipenuhi konsumsi, material dan fasilitas yang cukup. Alokasi dana dan belanja orangtua untuk kebutuhan keluarga sebagian besar dihabiskan untuk pemenuhan konsumsi sehari-hari, penyediaan fasilitas perorangan (bukan bersama), dan biaya pendidikan karier duniawi. Tetapi kurang menyediakan waktu untuk mencurahkan perhatian, kasih sayang demi terpenuhinya kebutuhan ruhani secara memadai bagi mereka.
Saatnya kita yang telah menjadi orangtua untuk menjaga, melindungi dan memberi perhatian yang melimpah kepada anak-anak kita. Menyemai mutiara cinta di jiwa-jiwa mereka, bukan justru mengasarinya. Sejatinya setiap orangtua harus menjadi sosok yang dipanut dan bertanggungjawab. Orangtua memberi ruang bagi anak-anak agar bisa menjadi sosok manusia merdeka yang tidak dikungkung dogma. Tentu, bukan pula membiarkan anak-anak tanpa bimbingan, perhatian dan kasih sayang. Dampingi mereka kala diperlukan. Akabri mereka kala sedang mencari jati diri. Jadikan anak-anak kita bagaikan teman karib untuk berdiskusi dan bermujadahlah.
Jangan jauhi dan tinggalkan apalagi memukulinya fisik yang sakit sampai ke hatinya. Sebab Rasulullah saw sudah mencontohkan ketika beliau bersama dua cucunya Hasan dan Husin; “Diriwayatkan ketika Nabi sedang berkhutbah, beliau melihat Hasan dan Husein yang sedang berjalan dan bersenda gurau di dalam masjid, lalu Nabipun turun dari mimbar seraya mengangkat dan menggendong keduanya” (HR. Turmuzi). Inilah yang sekarang disebut save our children, save our generation.
Sumber :
* Penulis adalah pendidik dan ayah tiga anak, tinggal di Tungkop Aceh Besar.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas Komentar yang anda berikan,,
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kami penulis atau pengelola agar lebih baik...
( Maaf Komentar yang berisikan kata tidak senonoh/tidak sopan/mengandung unsur sara tidak dapat kami tampilkan)