KEGAGALAN pendidikan selama ini menyebabkan banyak ahli mencari model dan format pendidikan yang tepat. Atau meneliti faktor-faktor yang melatarbelakangi kondisi degradasi tersebut. Semua orang mengharapkan ada satu model pendidikan yang aplikatif dan implementatif dengan merefer kepada kisah-kisah Qurani dengan beberapa modifikasi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Acuan ini diharapkan mampu membimbing peserta didik agar mampu bersaing dan bersanding dalam kancah kompetisi yang semakin mewacana. Dalam konteks itu, Ibrahim dan Ismail telah memposisikan dirinya sebagai figur terbaik dalam kacamata historis pendidikan Qurani. Kedua tokoh tersebut tidak pernah memunculkan teori-teori yang muluk dalam proses pendidikan, tetapi mereka justeru mendemonstrasikan aktivitas belajar mengajar secara nyata dan efektif.
Menjadi menarik jika melihat beberapa model pembelajaran yang ditampilkan dalam sejarah edukasi ala Ibrahim as, Pertama, pendidikan kemandirian. Sebagaimana layaknya seorang manusia, Ibrahim tentu sangat sayang kepada anaknya. Tetapi kasih sayang di sini tidak diekpresikan dalam bentuk memanjakan anak. Ibrahim ingin menjarkan anak dan keluarganya mandiri, tidak mengharapkan ulur tangan dan belas ka sihan orang lain dalam menjalani kehidupan ini. Untuk itu, Ibrahim menempatkan anak dan keluarganya di Mekkah yang saat itu dikenal dengan daerah yang kering kerontang, tidak ada penghidupan. Hal tersebut dapat dipahami karena di sana tidak dijumpai sumber mataair yang menjadi kebutuhan asasi manusia. Para musafir dan pedagang pun tidak akan singgah di alam yang tak bersahabat seperti Mekkah saat itu.
Mungkin secara kasat mata, orang akan mengatakan bahwa Ibrahim tidak sayang kepada keluarganya. Ternyata alam Mekkah yang kering itu telah memberikan pendidikan yang sangat berharga kepada Ismail dan ibunya, Hajar, agar menjadi manusia yang mandiri, tangguh dan mantap menghadapi kerasnya zaman, pantang menyerah dan putus asa. Siti Hajar terdidik menjadi ibu yang berjuang untuk menghidupi anaknya. Simbol lari-lari kecil (sa’i) yang dilakukan oleh jemaah haji hari ini merefleksikan betapa perjuangan seorang ibu yang berkali-kali mengayun langkah untuk mendapatkan setetes air demi melepaskan dahaga anaknya Ismail. Tentu tidak berhenti di situ, rupanya sosok Ismail di alam bawah sadarnya menendang tanah sekitarnya sehingga dengan takdir Allah air terpancar dari bekas tendangannya itu. Keberhasilan dan kesuksesan keluarga Ibrahim ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hidup di alam yang keras, kering kerontang, melawan kondisi ‘rawan’ itu rupanya telah mengajarkan mereka bagaimana menghadapi kesulitan hidup dan kehidupan.
Kedua, pendidikan keteladanan. Beda dengan sebagian orang, Ismail selalu mendampingi ayahnya. Di mana ada Ibrahim di situ ada Ismail. Sebenarnya apa makna dibalik kebersamaan ini? Rupanya Ibrahim hendak memberikan teladan kepada anaknya. Ibrahim sadar bahwa kegagalan pendidikan orangtua diawali dengan krisis keteladanan. Pendidikan model ini tentu mengantarkan seorang anak untuk menjadikan orangtuanya sebagai teladan dan figur. Sebagai figur, Ibrahim menjadi kebanggaan anak dan isterinya. Dengan demikian, anak yang bangga terhadap aktivitas ayahnya tentu tidak segan-segan untuk menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. Ketika merenovasi Ka’bah, Ismail turut bersama Ibrahim untuk mengerjakan bagian-bagian Ka’bah dan memperbaiki apa yang disuruh ayahnya. Apakah Ibrahim tidak bisa mengerjakannya sendirian? Mungkin bisa. Keikutsertaan anak dalam kegiatannya agar ia mengajarkan secara langsung bagaimana seorang manusia mengabdi kepada Tuhannya, termasuk membagun tempat ibadah. Kisah tersebut diabadikan dalam Alquran al-karim.
Malapetaka pendidikan sekarang ini adalah krisis keteladanan. Peserta didik sulit untuk mendapatkan figur yag tepat yang diteladani, yang padu antara perkatan dan perbuatannya. Akhirnya, pendidikan hanyalah sekedar transfer of knowledge (penyampaikan informasi keilmuan) yang berkisar pada tataran kognitif dan tidak mempengaruhi afektif dan psikomotorik. Kenapa hal itu bisa terjadi? Faktor yang dominannya adalah kurangnya keteladanan. Bak kata pepatah: kalau guru kencing berdiri, maka murid kencing sambil lari”. Ketiga, perhatian orangtua. Ibrahim tidak pernah membiarkan Ismail menyendiri dan menyepi. Ibrahim mengajaknya berdiskusi dan berdialog untuk membicarakan ha-hal yang mengitari permasalahan keluarga, masyarakat termasuk yang dihadapi Ismail sendiri.
Cuplikan kisahnya dalam Alquran menggambarkan betapa Ibrahim mampu melakukan komunikasi efektif dalam proses belajar dan mengajar dalam keluarganya. Contoh paling ringan adalah Ibrahim tidak pernah memaksa kehendaknya kepada anak. Dia memposisikan anak sebagai mitra, bukan ‘bawahan’, yunior, anak kecil, dan seterusnya. Ibrahim sadar betul, kalau anak didekati dengan cinta, berarti ia sedang mengajarkan bagaimana anak berkasih sayang sesama. Kalau anak dihadapi dengan lemah lembut berarti ia sedang mengajarkan bagaimana pandai memilih dan memilah kata dalam berbicara,bertutur sapa dan bertingkah laku. Kalau anak dihadapi dengan amarah, berarti ia sedang mengajarkan kekerasan kepada anaknya. Keempat, pendidikan dengan bahasa lembut dan dialogis. “Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata ahli hikmah. Identitas dan kepribadian seseorang sering tercermin dalam tutur katanya. Itulah awal apa yang dinilai orang. Rupanya Ibrahim sadar betul akan esensi bahasa dalam pendidikan. Dialah sosok orangtua yang pandai memilih dan memilah kata. Anaknya diundang dalam dialog akrab dengan panggilan yaa bunayya. Menurut sebagian mufassir, bunayya menunjukkan panggilan kesayangan kepada seorang anak. Kata itu mungkin sepadan dengan “si buah hati, belahan jantung, permata hati” dan seterusnya. Panggilan ini tentukan mengakrabkan suasana, mendamaikan situasi, mendekatkan yang jauh, menyatukan hati yang berberai. Dengan itu diharapkan agar gayung bersambut terhadap titah dan saran orangtua demi kebaikan sang anak. Sekelumit dan sebagian sepak terjang kisah model pendidikan Ibrahim as semoga semakin mendekatkan kita kepada metode dan nilai pendidikan hakiki. Tidak sekedar teori di atas kertas tetapi kering dari penerapan di alam pendidikan nyata. Semoga sosok Ibrahim semakin banyak di dunia pendidikan kita. Harapan dan tujuan pendidikan juga semakin cepat terealisasi hendaknya. Amin
Sumber :
Dr. Fauzi Saleh, MA. adalah dosen pada Fak. Ushuluddin IAIN Ar-Raniry.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas Komentar yang anda berikan,,
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kami penulis atau pengelola agar lebih baik...
( Maaf Komentar yang berisikan kata tidak senonoh/tidak sopan/mengandung unsur sara tidak dapat kami tampilkan)