Wednesday, February 24, 2010

Teriak-teriak, Mogok Makan, Lantas Ngambek ...


EKSPRESI anak dalam melancarkan protes bermacam-macam, sesuai dengan usia, perangai dan watak bawaan. Misalnya bisa dalam bentuk mogok makan, mogok bicara hingga berteriak-teriak protes langsung terhadap apa yang tidak disukainya. Umumnya, protes semacam itu mulai dilakukan anak saat berusia tiga tahun. Hal itu terkait dengan kemampuan anak untuk mengekspresikan diri secara verbal.

Penulis buku Children Are from Heaven, John Gray PhD mengatakan, perlawanan berupa protes yang dilakukan seorang anak terhadap orangtuanya disebabkan anak sudah mulai mempunyai kemauan, keinginan, dan kebutuhan sendiri. Protes anak menandakan perkembangan kemandirian dalam diri anak. Selain itu, anak kerap merasa sebagai anak besar yang bisa melakukan segalanya sendiri.

Perasaan tersebut membuat si kecil mudah tersinggung bila ada tekanan dari luar dirinya. Itulah mengapa sikapnya bisa berubah saat mendengar kata-kata perintah atau larangan. Perubahan sikap tersebut, jelas Gray, bisa dalam bentuk anak menjadi penurut atau justru melakukan perlawanan. Namun perasaan mandiri tak selamanya jelek. Sebab, kemandirian itu juga bermakna bahwa anak sudah punya pendirian, suatu potensi yang sangat penting bagi kreativitas anak.

“Aksi perlawanan juga bisa muncul bila anak merasa diperlakukan tak adil. Anak yang disuruh melakukan sesuatu secara kasar, direndahkan harga dirinya, dan dituntut untuk selalu menuruti kemauan orangtuanya, biasanya akan merasa dirinya diperlakukan tak adil dan sewenang-wenang. Hal itu merupakan reaksi yang wajar,” tuturnya. Menurut teori Ahli Perkembangan Anak, Erik Erikson, tentang tahapan perkembangan, anak usia bawah tiga tahun (batita) yaitu 18-36 bulan memasuki sebuah fase yang dinamakan fase otonomi. Fase tersebut ditandai dengan antusiasme melakukan segala sesuatunya sendiri dan munculnya hasrat untuk mandiri. Keinginan itu tumbuh seiring dengan berkembangnya kemampuan intelektual maupun fisiknya.

Pada fase otonomi itu juga, anak berusaha memiliki kontrol atas dirinya. “Aktivitas yang paling menonjol adalah perilaku makan-minum (feeding) dan toilet training. Lewat feeding, anak merasa dirinya memiliki kemampuan untuk mengontrol dirinya. Begitu pun dengan toilet training, dimana ia merasa mampu meregulasi keinginannya untuk buang air,” tutur Erikson. Keberhasilan menerapkan kontrol diri itu, lanjutnya, menumbuhkan rasa percaya diri yang mendorong anak untuk mencoba aktivitas yang lain.

Hal itu dilakukannya sekaligus untuk melatih keterampilan motorik serta mengasah kemampuannya berpikir. Lewat berbagai aktivitas baru, batita belajar memercayai penilaiannya sendiri. Pada fase otonomi itu juga, anak mulai menyadari dirinya adalah individu yang terpisah dari orang lain. Dia menyadari ibunya adalah orang lain. Begitu pun ayah, kakak-kakak, pengasuh bukanlah dirinya.

“Kesadaran mengenai diri ini mendorong anak belajar mengambil keputusan sendiri. Itulah mengapa anak usia batita sering kali tak mau melakukan perintah atau permintaan orang tuanya, bahkan cenderung memberontak. Penolakan ini merupakan manifestasi kontrol anak atas dirinya sendiri dan relatif normal untuk anak usianya,” paparnya. Jika penolakan anak kemudian membawanya kepada sikap yang seringkali memprotes, maka orangtua harus cermat membimbingnya agar dapat mengekspresikannya dengan cara yang benar.

Jangan langsung jengkel
Ungkapan protes anak-anak bisa saja terjadi sebagai bentuk protesnya secara langsung atau karena perkembangan bahasanya yang belum cukup memadai. Bisa juga karena terhambat oleh emosi yang sudah memuncak, yang membuatnya sulit berpikir untuk mengungkapkan protesnya secara lisan. Terkadang si kecil sendiri tidak tahu apa yang sesungguhnya ia rasakan, sehingga protesprotesnya tidak tersampaikan dengan baik dan keluar dalam bentuk tantrum atau mengamuk.

Saat itulah harusnya orang tua menajamkan mata hati untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh si kecil. Terkadang secara tidak sadar orang tua mencontohkan cara yang tidak benar untuk menunjukkan protes-protes pada orang lain. Misalnya pada suami kita, dengan cara marahmarah atau dengan menekuk muka tanpa mengatakan apa yang membuat hati kita tidak senang dan marah. Sikap-sikap seperti itulah yang mungkin ditiru oleh si kecil.

Bagaimanapun bentuk protes si anak, anggaplah semua itu merupakan proses belajar bagi para orang tua, untuk lebih memperhatikan sikapsikap kita, dan juga perhatian- perhatian kita pada si kecil. Juga belajar mengasah kepekaan kita terhadap apa yang dirasakan oleh anak-anak kita. Di sisi lain juga berusaha mengajarkan bagaimana cara memahami perasaanperasaanya dan mengungkapkannya pada orang lain. Mudah-mudahan, apa yang berusaha kita ajarkan, mampu mempermudah kehidupan si kecil, terutama dalam hal bagai mana berhubungan dengan orang lain, sampai ia dewasa nanti.(abs/*)


Kiat Meredam Protes Anak
Sikap keras anak harusnya ‘dilawan’ dengan kelembutan dan kasih sayang. Ajarkan anak untuk meminta atau mengatakan keinginannya dengan baik dan sopan. Cobalah menyadarkan anak sekaligus menanamkan pengertian bahwa dengan perilakunya seperti itu, orangtua tidak akan mengerti keinginannya. Buka komunikasi dengan anak. Hal itu memungkinkan orangtua untuk mengetahui penyebab dan alasan mengapa anak mengutarakan pendapatnya, sehingga orangtua dapat menyikapinya dengan benar.

Untuk meminimalisir protes anak terutama untuk hal yang berkaitan dengan rutinitas, orangtua dapat menerapkan disiplin yang konsisten, menyenangkan dan terbuka. Keterbukaan orangtua dengan anak, termasuk melatih anak untuk memprotes dengan cara yang benar justru sangat baik. Apalagi anak-anak ketika menginjak remaja cenderung lebih dekat dengan temantemannya ketimbang orang tua.

Beberapa Pemicu Munculnya Hobi Membantah
*Kemungkinan anak-anak melihat contoh buruk dari lingkungan sekitarnya. Misalnya ia terinspirasi ketika melihat kakaknya sering membantah orangtua.

*Anak selalu diminta untuk melakukan hal-hal diluar kemampuannya, misalnya anak disuruh mengambil buku di atas rak, padahal anak tidak mampu melakukannya. Itu mengakibatkan anak membantah perintah orang tua.

*Anak memiliki keinginan yang berbeda dengan orangtua, misalnya orangtua menyuruhnya mandi padahal anak masih ingin bermain.

*Irwan Prayitno dalam bukunya berjudul Anakku Penyejuk Hati menyebutkan, penyebab anak-anak suka membantah adalah akibat penerapan disiplin yang longgar dan ketidakmampuan orangtua untuk mengatakan ‘tidak’ pada anak. Disiplin yang berlebihan, otoriter, perfeksionis dan terlalu mendominasi membuat anak memberontak. Akibat disiplin yang tidak konsisten. Misalnya, ibu akan mengingatkan bila anak tidak gosok gigi sebelum tidur, namun ayah membiarkannya saja. Akibat situasi stress atau konflik yang sedang dihadapi orangtua memicu anak ketularan depresi.

Sumber :

*Membantah dan memprotes mungkin sebagai ungkapan kecewa pada orangtua atau anggota keluarga.

*Terjadi pada anak cerdas dan biasanya suka membantah, namun mereka tahu konsekuensi dari tingkah lakunya.

*Anak membantah dan memrotes mungkin juga karena lelah, sakit, lapar, atau perasaan tidak enak lainnya.(abs/*)


No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas Komentar yang anda berikan,,
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kami penulis atau pengelola agar lebih baik...

( Maaf Komentar yang berisikan kata tidak senonoh/tidak sopan/mengandung unsur sara tidak dapat kami tampilkan)

Daftar Temuan