Penulis : Syaiful Bahri
PEMERINTAH Mahasiswa (Pema) Unsyiah beberapa waktu lalu mengadakan polling (jajak pendapat) pemilihan rektor. Polling tersebut melibatkan sembilan dosen Unsyiah sebagai tenaga bantuan teknis (technical assistant), walaupun sebagian dari mereka mengaku tidak dilibatkan secara intens.
PEMERINTAH Mahasiswa (Pema) Unsyiah beberapa waktu lalu mengadakan polling (jajak pendapat) pemilihan rektor. Polling tersebut melibatkan sembilan dosen Unsyiah sebagai tenaga bantuan teknis (technical assistant), walaupun sebagian dari mereka mengaku tidak dilibatkan secara intens.
Awalnya penulis hanya ingin memberikan apresiasi terhadap kreasi ini. Namun setelah membaca undangan launching polling beserta kuesioner dan metodologi yang digunakan-serta menyimak penjelasan salah seorang tim bantuan teknis bahwa hasil survey ini akan dapat menjadi second opinion-maka, penulis memandang perlu terlibat membina mahasiswa dalam polling ini, yaitu dengan mengkritisi aktivitas ini secara proporsional.
Pemilihan rektor di perguruan tinggi yang belum berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP), sejak dahulu mengacu pada statuta yang diatur oleh pemerintah (Dirjen Pendidikan Tinggi). Artinya, pemilihan rektor yang sah adalah yang sesuai dengan statuta tersebut. Sedangkan polling di kalangan akademisi akan dapat menjadi pendapat alternatif (second opinion), manakala prosedur polling mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan ilmiah. Dalam konteks inilah dipandang secara metodologi polling pemilihan rektor perlu dikritisi.
Pendekatan polling yang dipilih penyelenggara (Pema) yaitu melalui pendekatan survey dipandang sudah tepat. Survey biasanya dilakukan untuk mendeskripsikan fenomena yang relatif tidak mendalam (depth), tetapi luas untuk populasi dan sampel yang besar. Melihat permasalahan yang ingin ditangkap yaitu kriteria rektor dan calon rektor priode 2010-2014 dan besaran populasi, maka surveylah pendekatan yang paling tepat ketimbang pendekatan lain. Pemahaman tentang populasi oleh peneliti memegang peranan penting dalam mempengaruhi hasil penelitian. Ketika karakteristik populasi dipahami secara dangkal, maka akan memberikan gambaran yang tidak valid pada hasil penelitian (survey).
Dalam kasus pemilihan rektor ini, pemahaman terhadap populasi berdasarkan jumlah mahasiswa dan tahun masuk atau angkatan saja tentu sangatlah naif. Menurut penulis survey ini dimaksudkan untuk mengukur pendapat tentang kriteria pemimpin dan sosok rektor Unsyiah dari responden.
Jika pendapat responden yang hendak dijaring, berarti yang diukur adalah aspek psikologis. Edward dalam bukunya Techniques of Attitude Scale Construction atau Fishbein dalam bukunya Beliefs, Attitude, Intention and Behavior: Introduction to Theory and Research mengatakan, dalam perspektif psikologi seseorang baru dapat memberikan pendapat yaitu melibatkan komponen kognisi dan afeksi secara objektif dan valid manakala ia memahami secara utuh objek psikologisnya. Mengacu pendapat ini, seyogiyanya penyelenggara memahami bahwa ada karakteristik lain yang lebih urgen yaitu pemahaman responden terhadap kriteria seorang pemimpin lembaga perguruan tinggi dan bakal calon rektornya. Apabila penyelenggara survey membatasi pada karakteristik asisten ahli untuk dosen, mahasiswa “aktif” (2005-2008) untuk responden mahasiswa, dan PNS 2008 ke bawah untuk karyawan, dengan asumsi akan memahami (bukan hanya sekedar kenal) calon rektor 2010-2014 dan memahami konstruk teori kepemimpinan, maka asumsi itulah yang menyesatkan hasil survey ini, khususnya asumsi tentang pemahaman anggota populasi terhadap calon rektor secara utuh.
Untuk anggota populasi dosen dan staf administrasi mungkin asumsi itu akan mendekati kebenaran. Namun untuk mahasiswa yang tersebar di sembilan fakultas, apalagi yang masuk pada tahun 2008 sulit rasanya memahami kondisi calon rektor yang berasal dari bukan fakultasnya. Misalnya, bagaimana mungkin seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran memahami kondisi Prof. Dr. Raja Masbar, MA yang berasal dari Fakultas Ekonomi atau Dr. Mustanir yang berasal dari Fakultas MIPA. Dengan pemahaman yang minim ini tentu responden akan memilih dr. Syahrul, Sp.S (K) yang telah dipahaminya sebagai Dekan Fakultas Kedokteran. Begitu pula untuk mahasiswa yang berasal dari fakultas lain. Dan di sinilah letak bias hasil survey ini.
Kemudian, dengan pemahaman yang dangkal tentang karakteristik populasi, meskipun pendekatan samplingnya sudah tepat (stratified random sampling), namun karena pemahaman awal tentang karakteristik populasi telah bias, maka sampelnya pun menjadi bias. Manakala sampelnya bias, sudah dapat dipastikan inferensi akhir juga akan bias.
Berkaitan dengan jumlah sampel 5% meskipun ada sejumlah literatur yang menyatakan representatif untuk populasi yang sangat besar, namun menurut pandangan penulis akan lebih afdal jika perhitungan jumlah sampel didasari pada perhitungan statistik dengan bias 0,05. Sebab survey ini dimaksudkan untuk melakukan inferensi informasi dari sampel kepada populasinya. Celakanya lagi, jika sampel terpilih tidak sesuai dengan proporsi karakteristik populasinya.
Penggunaan angket sebagai alat pengumpul data dalam pendekatan survey merupakan pilihan yang tepat. Namun membangun sebuah instrumen (apa pun tekniknya termasuk angket) haruslah beranjak dari operasional variabel yang hendak ditelaah. Operasionalisasi variabel dibangun dari pemahaman konstruk teori yang benar. Penulis memandang hal ini yang agaknya dilupakan oleh penyelenggara (Pema dan tim Bantuan Teknis).
Dua item utama yang dijadikan fondasi simpulan survey ini (item 4 dan 5 pada quesioner) merupakan konstruk item yang menyesatkan. Sebab item itu tidak dibangun dari konstruk teori kepemimpinan dan karakteristik pemimpin yang ideal sebagaimana disyaratkan secara teoretis. Dengan kata lain, item tersebut belum memenuhi kriteria validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity).
Menyambung penjelasan pada populasi di atas bahwa calon-calon rektor yang dipaparkan namanya di dalam item 4 jelas tidak dipahami utuh oleh seluruh responden, khususnya mahasiswa. Begitu pula dengan item 5, di mana responden dipaksakan untuk memilih satu jawaban saja, sementara alternatif jawaban yang ditawarkan tidak bersifat unidimensional. Artinya, indikator populer dan memiliki jaringan internasional, jujur, transparan dan akuntabel, serta memiliki pengalaman kepemimpinan di kampus dapat menjadi deskriptor pada orang muda dan senior. Begitu pula indikator memiliki integritas dan bijaksana dapat menjadi deskriptor orang muda dan senior. Alternatif jawaban ini merupakan alternatif jawaban item yang tidak valid.
Lampiran undangan launching polling tidak mencantumkan teknik analisis data oleh karena itu sulit bagi penulis untuk mengkritisinya. Meskipun tanpa cantuman teknik analisis atau penulis berasumsi bahwa teknik analisis yang digunakan cukup tepat, namun penulis memandang bahwa hasil dan simpulan survey ini akan bias, karena berasal dari populasi, sampel dan instrumen yang bias. Oleh karena itu, hasil survey ini belum dapat menjadi second opinion bagi para sivitas akademika Unsyiah, apalagi jika ada asumsi hasil polling akan mempengaruhi para senator Unsyiah dalam pemilihan rektor yang sesungguhnya.
Menyimak tampilan jadwal dan menyambung-tangkapkan jadwal tersebut dengan jumlah relawan (enumerator) dan responden, dipandang memungkinkan data terkumpul tepat waktu. Kecuali, enumerator adalah mahasiswa yunior dan belum pernah mengikuti mata kuliah metode penelitian dan atau belum pernah mengikuti kegiatan serupa dan atau penyelenggara tidak membekali enumerator dengan latihan (coaching).
Persoalan krusial lainnya yang masih terbuka peluang untuk dijadikan bahan diskusi ialah independensi penyelenggara. Ketika suatu fenomena berbau politik hendak dibuktikan secara metodologis, nuansa politik ikut menyertainya. Bagian paling rawan untuk disusupi ialah lembaga pelaksana, misalnya ada upaya tertentu agar pelaksana tidak independen, walaupun penyelenggara polling adalah mahasiswa. Bahkan dalam banyak kasus seringkali dijumpai penyelenggara polling pembawa ruh salah satu kandidat yang akan bertarung.
Merujuk pada aspek-aspek yang dikritisi, penulis berharap sivitas akademika Unsyiah arif menyikapi hasil survey pemilihan rektor tersebut. Survey ini sesuatu yang berbeda dengan pemilihan rektor yang telah diatur dalam statuta. Setiap calon rektor dan senator harus objektif dan transparan dalam mengikuti proses pemilihan. Pema dan mahasiswa harus memandang bahwa polling ini merupakan wadah pembelajaran dalam upaya mengoptimalkan pengembangan diri. Mari kita kembangkan pikiran positif sembari memanjatkan doa kepada Illahi Rabbi agar sivitas akademika bersatu dalam memajukan Unsyiah yang kita cintai ini.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas Komentar yang anda berikan,,
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kami penulis atau pengelola agar lebih baik...
( Maaf Komentar yang berisikan kata tidak senonoh/tidak sopan/mengandung unsur sara tidak dapat kami tampilkan)