A. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan
bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada
ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari
atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta
didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas
perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan
moral-spiritual).
Peserta didik sebagai seorang individu yang sedang berada
dalam proses berkembang atau menjadi (on
becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk
mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan karena mereka
masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya,
juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat
suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu
berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses
perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah
dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh
lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada
lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat
mempengaruhi gaya hidup (life style)
warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di
luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan
perilaku peserta didik, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan,
masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang
diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di
antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota,
kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi,
pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat
dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti :
maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat
kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol;
ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa
sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup peserta didik (terutama pada
usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang
mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum
minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif lainnya, seperti : ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak
diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang
dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20
Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki
pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5)
memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif
(yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan
pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara
bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak
diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi peserta didik dan
memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar
kompetensi kemandirian. Upaya ini
merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara
proaktif dan berbasis data tentang perkembangan peserta didik beserta berbagai
faktor yang mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang
bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan
utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif
dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan
konseling.
Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional
dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan
peserta didik yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang
memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma
pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi
tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan
yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan
konseling perkembangan (Developmental
Guidance and Counseling), atau
bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pepepelayanani bimbingan
dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan
pengentasan masalah-masalah peserta didik. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan
sebagai standar kompetensi yang harus dicapai peserta didik, sehingga
pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling).
Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan
kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/Madrasah lainnya
(pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua
peserta didik, dan pihak-pihak terkait lainnya (seperti instansi
pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini
terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan
dalam upaya membantu para peserta didik agar dapat mengembangkan atau
mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial,
belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka
implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan
kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi
peserta didik, yang meliputi
aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan
pribadi peserta didik sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
B.
Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006
tentang Standar Isi, Bab II Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum memasukan komponen pengembangan diri untuk jenjang pendidikan SD/MI/SDLB,
SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK. Kegiatan pengembangan diri ini
dilaksanakan pada setiap semester, ekuivalen dengan 2 jam pembelajaran.
Ketentuan ini harus dijadikan peluang oleh konselor untuk melakukan pelayanan
tatap muka di kelas secara terjadwal.
Dalam Struktur Kurikulum Pendidikan Umum
(SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA) pengembangan diri itu dijelaskan sebagai berikut.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran
yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi
Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau
tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan
diri dilakukan melalui kegiatan
pepelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan
sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
Sementara dalam Struktur Kurikulum Pendidikan Kejuruan
(SMK/MAK) pengembangan diri itu dijelaskan sebagai berikut.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang
harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi
Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan
diri difasilitasi oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat
dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan pengembangan diri
dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah
diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pembentukan karier peserta
didik. Pengembangan diri bagi peserta
didik SMK/MAK terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan
karier.
Komponen pengembangan diri ini tidak hanya diberikan di
pendidikan umum dan kejuruan, tetapi juga di pendidikan khusus. Dalam struktur
kurikulum pendidikan khusus, pengembangan diri itu dijelaskan sebagai berikut.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran
yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, kemampuan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan
kondisi Sekolah/Madrasah. Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau
tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Dari ketentuan di atas ada beberapa hal yang
perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan pelayanan bimbingan dan
konseling dalam jalur pendidikan formal, sehingga dapat menghindari kerancuan
konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
1. Pengembangan
diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan
metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar
seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan
pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi
bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat peserta
didik dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri
tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah
bimbingan dan konseling.
2. Pelayanan
pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di
dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang
memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun
berarti bahwa pelayanan pengembangan
diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah
bimbingan dan konseling.
3. Kedua
hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti
pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian
saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan
konseling yang harus diperankan oleh konselor (periksa gambar 2).
Lebih lengkap Donwload disini
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas Komentar yang anda berikan,,
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kami penulis atau pengelola agar lebih baik...
( Maaf Komentar yang berisikan kata tidak senonoh/tidak sopan/mengandung unsur sara tidak dapat kami tampilkan)